SKJENIUS.COM, Cikarang.-- IRONIS! Ternyata sekarang ini banyak orang yang kemampuan intelektualnya tinggi atau pintar, tetapi sisi spiritualnya rendah. Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, ternyata bukan semakin tinggi akhlak atau karakternya, tetapi sebaliknya justru semakin rendah.
Belakangan
ini, banyak penyimpangan moral yang dilakukan oleh seseorang yang berpendidikan
semakin tinggi. Sehingga Indonesia masuk
peringkat ketiga sebagai negara terkorup di Asia, menurut
survei lembaga Transparency International. Survei dilakukan sejak Juni hingga
September 2020 terhadap 20.000 responden di 17 negara Asia.
Bahkan,
baru-baru ini, dalam beberapa hari, di tengah jepitan pandemi dan ancaman
resesi, KPK melakukan 5 OTT di berbagai wilayah. Dalam Operasi
Tangkap Tangan itu, KPK mencokok oknum pejabat negara yang diduga korupsi.
Mulai dari Menteri Edhy Prabowo, Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna,
Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo, Pejabat Kemensos, sampai Mensos Mensos
Juliari Batubara, Politikus PDIP yang akhirnya Ditangkap KPK.
Sebagai
warga negara yang baik, kita menghormati azas hukum praduga tak bersalah. Namun
kejadian itu tentu saja membuat kita prihatin melihat tingkah laku para oknum
pejabat yang kena OTT KPK ini. Negara ini bisa rusak jika kebanyakan isinya
hanya orang-orang yang tinggi ilmu atau intelektualnya, tetapi dari sisi
Spiritual mereka Berakhlak Rendah.
Miris, memang! Kasus rasuah, gratifikasi dan suap sangat menonjol di negeri ini. Kalau
mau bersih indikatornya sederhana cari pemimpin yang jujur, juga bukan manusia
serakah serta freedom from financial dan lakukan Revolusi Akhlak secara
Nasional.
Akhlak Mulia Membentuk Masyarakat Sejahtera
Imam Ghazali
dalam kitabnya “Ihya’ Ulumuddin”
memberikan pengertian tentang akhlak, yakni spontanitas manusia dalam bersikap
atau perbuatan yang telah menyatu atau melekat dalam diri manusia sehingga
ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Mahmud
al Mishri (2009) dalam kitabnya “Mausu’ah
min Akhlaqir Rasul” mengutip definisi akhlak dari Al-Jahish, yakni keadaan
jiwa seseorang yang selalu mewarnai tindakan dan perbuatannya, tanpa
pertimbangan ataupun keinginan.
Al-Gazali
dan sebagian ulama mengemukan beberapa karakteristik akhlak mulia antara lain: merasa malu melakukan keburukan, tidak
senang menyakiti, mengadu domba dan melaknat atau mencela, tidak suka
memfitnah, lemah lembut atau santun, penyayang, berkata jujur, sedikit bicara
banyak karya, adil, sabar, pemaaf, suka bersyukur, menjaga kesucian dan harga
diri, tidak ujub, sombong dan dengki, pemurah dan tidak kikir melainkan peduli
terhadap penderitaan orang lain.
Allah
SWT dan Rasulullah Saw memerintahkan dan mendorong seluruh hambaNya untuk
berakhlak mulia terhadap seluruh umat manusia. Nabi Saw bersabda, “Orang yang paling baik Islamnya adalah yang
paling baik akhlaknya”.
Akhlak
mulia adalah kunci untuk meraih segala kemuliaan hidup. Tanpa akhlak mulia maka
kehidupan ini akan kacau balau dan tidak akan terjadi keadilan yang didambakan
oleh semua orang. Tanpa akhlak mulia maka, mereka yang kuat akan menindas yang
lemah, mereka yang pintar akan mengakali yang bodoh, mereka yang kaya akan
menindas yang miskin, penguasa yang tidak berakhlak mulia akan selalu berbuat
dhalim, dan seterusnya. Akhlak adalah merupakan kunci lahirnya masyarakat yang damai,
adil, dan sejahtera.
Revolusi Akhlak Diawali Dengan
I'tikaf Transformatif
Membangun
akhlak mulia adalah sama halnya dengan membangun atau membersihkan hati, ruh,
atau jiwa. Sekedar menjadikan orang pintar mungkin saja dilakukan dengan cara
dibuatkan sekolah. Akan tetapi membuat seseorang berhati bersih tidak cukup
melalui sekolahan dan atau bahkan perguruan tinggi sekalipun.
Karena
itulah, jika kita ingin melakukan Revolusi Akhlak secara Nasional,
maka revolusi akhlak itu harus dimulai dari diri masing-masing mereka yang
menyeru kepada perbaikan akhlak umat itu. Artinya, jika kita ingin memperbaiki
akhlak umat serta situasi dan kondisi yang yang kita hadapi saat ini, maka tak
ada jalan lain, kita harus menempuh Jalan Spiritual. Yaitu I’tikaf
di Masjid selama 3 hari 3 malam.
Sebagaimana
Rasulullah SAW memberi teladan dengan rutinitas Tahannuts (menyepi)
Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Nabi di Gua Hira yang berada di
sebuah gunung bernama Jabal An Nur. Demikian juga contoh yang diberikan para
Guru Mursyid kita dengan tradisi Suluk (Khalwat)
selama beberapa hari di Masjid atau Surau.
Sebagaimana dijelaskan
oleh Allahyarham Syaikh Inyiak Cubadak bahwa Suluk adalah tradisi
yang biasa dilakukan oleh Jamaah Thariqat Sufi, di mana mereka selama
berhari-hari dalam bulan tertentu mengasingkan diri dari masyarakat
untuk beribadah, menempa jiwa serta memohon solusi
Terbaik dari Allah atas berbagai Problematika kehidupan yang
dihadapi.
Dalam
I'tikaf, kita berkesempatan untuk merenungkan hakikat panggilan
jiwa masing-masing dan sekaligus menjalani proses recharging, “mengisi
baterai” agar lebih termotivasi, lebih giat dan kreatif serta memiliki
Kekuatan Spiritual yang Mumpuni untuk melaksanakan panggilan dan tugas
masing-masing dalam Berjihad di Jalan Allah.
Berjihad
di jalan Allah untuk membela kaum tertindas itu diawali dengan Revolusi Akhlak,
dikenal sebagai kekuatan yang mengarahkan energi umat Islam kepada perwujudan
Nilai-nilai Spiritual Islam ke seluruh wilayah kehidupan, baik
intelektual, sosial, budaya, etika, politik dan ekonomi.
Para Guru
Mursyid kita, dengan Nilai-nilai Spiritual Islam telah membebaskan Eropa,
dan kemudian bagian dunia lain, dari mitos-mitos dan praktik-praktik primitif,
takhayul, penjajahan, penindasan, dan bentuk-bentuk kuasa jahat lainnya. Di
mana ada Guru Mursyid, di situ terjadi pencerahan, pembebasan, perdamaian, dan
kesejahteraan.
Dan
karena Allah telah memilih kita, sebagai pelanjut Tongkat Estafet Beliau-beliau
yang dimulyakan Allah itu, maka kita perlu menyiapkan Diri menyiapkan diri
menjadi pribadi yang siap dipakai-Nya di belahan dunia manapun. Jamaah
Masjid Baiturrahman dan Mereka yang merasa dirinya
sebagai Mujahidin fi Sabilillah harus siap melakukan Revolusi
Akhlak. (az)