SKJENIUS.COM, Cikarang.- SUBHANALLAH! Pandemi Covid-19 telah mengubah dunia secara dramatis. Dari masalah kesehatan kemudian berkembang ke krisis ekonomi global. Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan resesi saat ini lebih parah dari krisis-krisis sebelumnya.
Seiring
dengan itu, Amerika Serikat dan 49 negara Kapitalis lainnya telah terpuruk ke
Jurang Resesi. Apakah prahara corona ini menjadi lonceng kematian sitem kapitalis
dan sosialis karena ketidakmampuannya mengatasi masalah kemanusian
selama pandemi?
Akan
menjadi seperti apa dunia setelah pandemi Covid-19, nanti?Apakah virus corona
akan menjadi awal perubahan perilaku konsumerisme yang merajalela dan menjadi
pencetus kritik baru atas globalisasi? Apakah masalah-masalah etis yang sempat
terpinggirkan oleh desakan kapitalisme kini akan menjadi penting lagi?
Deratan
pertanyaan tersebut di atas kini mulai menggedor-nggedor pikiran banyak orang,
tidak hanya para cerdik-cendikia, para pemimpin negara, para politisi, tetapi
juga rakyat biasa. Meskipun, tidak seorang pun berani dan bisa memastikan,
kapan pandemi Covid-19 ini akan sungguh-sungguh berakhir. Pertanyaan
lain adalah sampai kapan kondisi seperti sekarang ini berlangsung?
Hidup Dalam Tataran Kesadaran yang
Baru
Kita
semua sudah merasakan bagaimana dahsyatnya hantaman wabah corona ini
mengguncang seluruh lini kehidupan umat manusia di dunia. Sehinggga dunia
mengalami krisis ekonomi global akut yang belum pernah terjadi. Indonesia pun
tak luput dari prahara corona ini, sehingga perekonomian terkontraksi dua
kuartal berturut.
Namun
demikian, di balik berbagai efek negatif yang ditimbulkannya, ternyata pandemi
ini telah membangkitkan Kesadaran Spiritual banyak orang. Pandemi ini
mengharuskan kita melakukan social distancing, menjauhi
kerumunan, sehingga lebih banyak di rumah (stay at home). Maka, wabah corona
ini menghentikan kita dari gaya hidup sehari-hari yang sibuk.
Padahal
selama ini, dalam kehidupan sehari-hari tanpa pandemi, kita terus bergerak dan
tidak pernah sempat untuk berhenti dan melihat hidup kita. Karena itulah bagi
banyak orang, stay at home adalah
masa di mana kita keluar dari rutinitas padat dan mencari tahu tiga hal. Tiga
hal itu adalah keinginan di dalam hidup kita, cara mendapatkan keinginan
tersebut, serta apa yang bisa kita lakukan untuk mewujudkannya.
Sementara
itu, pandemi telah menyadarkan kita bahwa pertimbangan ekonomi tidak selalu
bisa dijadikan prioritas utama. Kita harus melakukan langkah yang benar secara
moral, yaitu memprioritaskan kesehatan, berapa besar pun biaya ekonominya.
Dengan
demikian, Prahara Covid-19 ini membawa pesan dari Langit agar manusia
mempersiapkan diri untuk memasuki Tatanan
Dunia Baru Dalam Tataran Kesadaran yang Baru. Jadi, pandemi corona pada
hakikatnya adalah momen refleksi meninggalkan yang lama menuju yang baru.
Proses ini dalam tataran spiritualitas identik dengan proses kelahiran. Lahirnya suatu kehidupan baru akan menggantikan kehidupan yang lama. Lahirnya Tatanan Dunia Baru Berbasis Spiritualitas Nusantara.
Dalam
konteks hidup beriman, momen ini mengajak kita untuk meninggalkan kehidupan
kita yang lama, yang tidak up to date, yang tidak mendengar dan
mengandalkan Allah, yang berhura-hura dan berfoya-foya, yang tidak peduli
dengan sesama dan lingkungan.
Maka
pandemi corona sesungguhnya memicu Kesadaran Spiritual Kolektif kita sebagai
Bangsa Indonesia yang mewarisi Kebudayaan Spiritual Nusantara.
Sehinggga kita dilahirkan kembali untuk menjadi pribadi-pribadi baru yang
mau mendengar dan mengandalkan Allah, peka terhadap kesulitan hidup sesama,
memperhatikan dan memperlakukan lingkungan hidup lain sebagai sesama ciptaan,
solid dalam setiap gerakan bersama menuju kehidupan yang lebih baik, mandiri
dan solide.
Insya
Allah, kesadaran ini menjelma sebagai suatu pola hidup atau gaya hidup (way of
life). Sehingga mereka yang menyadari dirinya sebagai Pewaris Nusantara itu
selalu berupaya hidup selaras dengan lingkungan sekitarnya. Mereka akan merawat
atau menjaga lingkungan seperti mereka menjaga dan merawat rumah tangganya.
Sehingga manusia tidak lagi dilihat dalam suatu kesatuan yang terpisah, tetapi
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling berhubungan.
Kebangkitan Spiritualitas Nusantara
yang Berbasiskan Tasawuf Transformatif
Menurut
saya, krisis pandemi Covid-19 ini, bila kita lihat dengan kacamata iman,
maka sadarlah kita bahwa wabah ini sebenarnya adalah sebagai interupsi Allah
yang menyapa kita untuk melakukan pembaharuan relasi dan interaksi kita dengan
diri sendiri, sesama, lingkungan dan Dia, yang mengajak kita berbagi kecemasan
atau kekhawatiran supaya tetap saling "ta'awun" seraya
terus memohon, “Yaa Allah, kasihanilah kami.”
Dengan
demikian, jika ia disebut sebagai sebuah interupsi, maka maknanya Allah ingin
memperingatkan umat manusia agar selalu berjalan pada ajaran-Nya. Pada titik
ini, Dia sebetulnya mau menegur segala sesuatu yang berbau berpaling dari
Allah dan ajaran-Nya.
Karena
itu, jika kita tafakkuri lebih mendalam, fenomena wabah covid-19 saat ini
sesungguhnya menunjukkan interupsi Ilahiyah atas umat Islam
dan seluruh manusia. Interupsi tersebut bisa bermetamorfosis dalam bentuk
pertanyaan atas ketahanan iman kita kepada Allah dan ajaran-Nya.
Ada
banyak fenomena yang menginterupsi ketahanan iman kita itu. Di antaranya ialah
tidak adanya pelaksanaan Haji bagi Umat Islam Indonesia pada tahun 2020, Umroh
pun dibatasi. Shalat berjamaah pun harus mengikuti protokol kesehatan.
Pengajian Akbar pun tidak bisa dilaksanakan.
Semua
pembatasan dalam pelaksanaan peribadahan itu, tentu saja menuntut kesiapan
lahir dan batin, fisik dan juga mental serta pemahaman baru , kebiasaan
baru ibadah di tengah COVID-19. Situasi dan kondisi baru menuntut pemahaman
baru dan juga cara-cara baru tetap di dalam koridor syari’ah.
Maka,
modus berislam yang selama ini berhenti sebagai pemujaan eksteriotiras
formalisme peribadatan itulah yang sesunggunya ingin diinterupsi Allah melalui
wabah corona ini. Pasalnya, berislam tanpa kesanggupan menggali interioritas
nilai spiritualitas dan moralitas hanyalah berselancar di
permukaan gelombang bahaya.
Tanpa
menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberislaman menjadi mandul,
kering, dan keras. Tak memiliki sensitivitas-kontemplatif, conscious-intimacy,
daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang suci dan
yang profan.
Tanpa
penghayatan spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut
penyair John Keats sebagai negative capability, yakni
kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri, dan keraguan dalam
hidup.
Tanpa
menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan
atas kompleksitas kehidupan dunia yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan
ancaman keluar. Karena itu, marilah kita jadikan Prahara Covid-19 ini sebagai
titik balik ke Jati Diri kita sebagai Muslim yang Kaaffah.
Muslim Kaaffah
yang memahami aspek lahiriyah dan batiniyah dari ajaran Islam. Pasalnya selama
ini, di kalangan sebagian Muslim terjadi kesenjangan pemahaman terhadap dimensi
eksoterisme
(dimensi lahir, syariat) dan esoterisme (dimensi batin, tasawuf) Islam.
Bagi
yang mengutamakan dimensi eksoterisme, dimensi esoterisme dianggap tidak
penting dan bahkan kadang-kadang keluar dari ajaran Islam. Sementara yang mengutamakan
dimensi esoteris memandang bahwa eksoterisme tidak diperlukan lagi, karena
manusia sudah mampu menyingkap rahasia Allah.
Sejatinya,
antara dimensi eksoterisme dan esoterisme ini tidak dapat dipisah-pisahkan.
Keduanya merupakan bagian ajaran Islam yang integral. Karena itulah
kita harus memadukan kembali pemahaman antara dimensi eksoterisme dan
esoterisme Islam.
Tasawuf Transformatif Solusi Problematika Manusia Modern
Guru
Mursyid kita, Guru Mursyid kita, Allahyarham KH Muhammad Zuhri, Sang Penggagas Tasawuf
Transformatif, mengingatkan bahwa dimensi esoterisme (tasawuf) diperlukan
manusia agar terjadi perimbangan dalam menghadapi hidup dan lebih memberi ruh
dari pemahaman syariat yang dianggap kaku dan kering.
Beliau
menegaskan,Tasawuf Transformatif sebagai Solusi Problematika Manusia
Modern. Tasawuf transformatif merupakan upaya untuk pelibatan diri seorang sufi
dalam memperbaiki dan mengubah kehidupan masyarakat.
Tasawuf
transformatif tidak menekankan sikap spiritualisme pasif dan isolatif (i’tizaliyah),
tetapi tasawuf dijadikan spiritualisme aktif dan dinamis
dengan menjadikan tasawuf sebagai sumber nilai dan semangat untuk menjadikan
masyarakat lebih berkarakter, mandiri, dan sejahtera.
Titik
relevansinya dengan kehidupan modern adalah bagaimana manusia kemudian mampu
membangun kesadaran dirinya terhadap alam semesta dan saudara manusianya.
Kesadaran tersebut kemudian dikontekstualisasikan ke dalam dimensi permasalahan
manusia modern.
Kontekstualisasi
ajaran sufi ini menjadikan tasawuf transformatif tidak hanya aktual, tetapi
juga relevan untuk “membebaskan” manusia modern dari belitan berbagai persoalan
yang dihadapinya. Dengan demikian, semangat tasawuf yang dibawa oleh Guru
Mursyid kita, KH. Muhammad Zuhri sarat dengan tindakan sosial dan aspek
kemasyarakatan. (az).