SKJENIUS.COM, Cikarang.-- IRONIS, Memang! Betapa Tidak? Sudah 75 sejak Proklamasi, namun rakyat
Indonesia belum merdeka dari kemiskinan dan pengangguran. Padahal, negara
kita memiliki kekayaan alam yang berlimpah, memiliki tanah yang subur dan curah hujan yang tinggi sehingga banyak aktivitas perekonomian
dilakukan di bidang pertanian dan peternakan. Indonesia juga terletak pada
posisi geografis yang strategis di antara dua benua dan dua samudera.
Namun sayangnya, berdasarkan laporan Badan
Pusat Statistik (BPS), ternyata jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai
26,42 juta orang. Seiring dengan itu, pada Agustus 2020, Jumlah Pengangguran
pun Naik Jadi 9,77 Juta Orang.
Sementara itu, di tengah eskalasi pandemi terus
bertambah setiap hari, Indonesia pun terperosok ke jurang resesi ekonomi. Itulah
kondisi dan fakta yang terjadi dinegara kita tercinta Indonesia.
Bukankah pemerintah sudah berjanji melalui UUD
1945 Bab XIV pasal 34 bahwasanya, fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
dipelihara oleh negara? Seiring dengan itu, (Pasal 33 Ayat 2); “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Lalu kenapa hal ini masih terjadi? Apa yang
Salah dengan Negara kita, lantas Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua
hal ini?
Jika, ingin mencari siapa yang salah, sering
kali juga kita melemparkan tanggung jawab ini kepada pemerintah atau
organisasi-organisasi yang bergerak di bidang sosial dan ekonomi. Apakah kita
tidak menanggung tanggung jawab juga? Tidak adil rasanya, jika kita hanya
menyalahkan pemerintah semata.
Pasalnya, akar masalah yang sesungguhnya
terjadi pada negara kita bukan pada pemerintahannya, bukan pada ekonomi yang
sedang krisis, bukan karena para pejabat-pejabat yang tidak bisa bekerja secara
baik dan tidak berpihak kepada rakyat, akar masalahnya adalah kembali kepada
diri kita masing-masing, kita semua mungkin lupa atau memang tidak tahu bahwa
Allah sudah mengingatkan dalam surat Ar Ra'du : 11
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang
mengubah apa apa yang pada diri mereka. ”
Jadi, mengubah keadaan suatu kaum atau negara
adalah urusan Allah. Namun perubahan itu dikaitkan Allah dengan perubahan dalam
diri kaum itu sendiri. Maka, tidak akan ada perubahan pada sebuah negara jika
rakyatnya tidak mau mengubah nasibnya, tidak mengubah cara pandangnya, tidak
mengubah mental dan cara berfikirnya (mindset).
Jalesveva
Jayamahe, Nusantara Poros Maritim Dunia
Di zaman dahulu kala, nenek moyang kita
penghuni Bumi Nusantara ini terkenal dengan semboyan "Jalesveva Jayamahe",
di lautan kita jaya! Sebagai negara maritim dengan lautan yang sangat luas,
Kerajaan Sriwijaya memiliki Angkatan Laut yang kuat. Sudah sedari dulu
nenek moyang kita menyadari potensi dari luasnya laut. Sebagai negara
kepulauan, laut bukanlah pemisah, namun justru penghubung antar pulau dan media
transportasi yang efisien. Jadi, bangsa Indonesia adalah bangsa maritim, bangsa
yang memiliki nenek moyang pelaut ulung?
Seiring dengan itu, nenek moyang kita pun
dikenal dengan semboyan "Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto
Raharjo" yang mempunyai arti dan filosofi yang sangat mendalam. Gemah ripah loh jinawi berarti kekayaan
alam yang melimpah sedangkan toto tentrem
kerto raharjo berarti keadaan yang tertata dan tentram.
Dengan demikian, di zaman baheula, bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa maritim
dan agraris?
Dua hal yang saat ini menjadi permasalahan bangsa cukup krusial. Sebagai bangsa
maritim kita belum mampu mengelola secara maksimal lautan dan samudera yang
kita miliki.
Kementerian Kelautan baru terbentuk pada masa
Presiden Abdurrahman Wahid, kelautan dan kemaritiman mulai keluar “taring”nya sejak Ibu Susi menjadi
menteri. Demikian pula sebagai bangsa agraris masalah swasembada pangan hingga
saat ini negara kita masih import beras, gula, jagung, kedelai dan bahkan
garam.
Maka, permasalahan penting yang perlu diangkat
saat ini adalah bagaimana mengembalikan kejayaan nenek moyang bangsa
ini sebagai bangsa agraris, sekaligus bangsa maritim. Bangsa yang mampu
mengarungi samudera nan luas mengokupasi ribuan pulau-pulau yang tersebar di
Samudera Pasifik, dan menguasai perniagaan laut, seperti pada ribuan tahun yang
lalu hingga munculnya kerajaan-kerajan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit.
Tridaya
Shakti Sumber Kekuatan Rakyat Nusantara
Dalam Budaya Nusantara sangat ditekankan
pentingnya menggali dan mendayagunakan TRIDAYA SHAKTI yaitu Cipta,
Rasa
dan Karsa.
Namun sayangnya, sangat sedikit dari kita saat ini yang memahami tentang
Tridaya ini. Padahal, inilah sebuah kekuatan maha dahsyat yang ada pada diri
kita yaitu kekuatan Cipta, Rasa dan Karsa/Kehendak.
Kekuatan inilah yang sebenarnya menggerakkan
setiap aktifitas yang kita lakukan setiap hari mulai dari bangun tidur yaitu
saat pertama kali kaki menginjak tanah/lantai hingga saat ketika kita melepas
semua kepenatan hidup dan membaringkan tubuh kita untuk tertidur lelap.
Konsep Tridaya Shakti inilah yang mendasari
sistem pendidikan dalam budaya Nusantara yang kemudian dikembangkan oleh Ki
Hadjar Dewantara melalui Lembaga Pendidikan Taman Siswa yang dikenal dengan “Konsep Trisakti Jiwa”
yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa. Maksudnya, untuk
melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil
olah pikir (cipta), hasil olah rasa (rasa), serta motivasi yang kuat di dalam
dirinya (karsa).
Dengan demikian, nenek moyang kita menekan
pentingnya sinergi Olah Cipta, Olah Rasa dan Olah Karsa, yaitu:
a)
Olah cipta (intellectual
development) merupakan dimensi pendidikan karakter yang berkaitan dengan
otak (brain), cipta (mind), dan pikir (thought).
b)
Olah rasa merupakan dimensi pendidikan
karakter yang berkaitan dengan emosi jiwa akan kepedulian terhadap lingkungan
sekitar.
c)
Olah karsa (Affective and Creativity
development) merupakan dimensi pendidikan yang berkaitan dengan kehendak/tekad.
Inilah kekuatan yang menggerakkan segala Cipta dan Rasa itu menjadi terlaksana.
Jika dalam melaksanakan segala sesuatu itu
hanya mengandalkan salah satu diantaranya saja maka kemungkinan besar jauh dari
suatu keberhasilan. Keseimbangan ketiga hal ini sangat menentukan keberhasilan
dari sebuah tujuan Pendidikan rakyat Nusantara.
Lantas dari filosofi pendidikan itu muncul
nilai-nilai karakter anak bangsa yang dimulai dari religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab dan
lain-lain.
Dengan demikian pendidikan dalam masyarakat
Nusantara adalah sebagai usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan
dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta
pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah
adab kemanusiaan.
Karena itulah, dengan kemampuan menyinergikan
dan mendayagunakan Tridaya Shakti yang dimilikinya, para nenek moyang kita
sudah menemukan banyak penemuan yang terbilang canggih. Tetapi sayang sekali
banyak orang Indonesia sendiri tidak menyadarinya.
Berikut beberapa di antaranya Borobudur:
Kecanggihan teknologi dan arsitektur, Rumah Gadang Arsitektur Rumah Aman Gempa,
Kapal Jung Jawa, Teknologi kapal raksasa Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus,
para penjelajah laut Nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia, Keris
kecanggihan teknologi penempaan logam Teknologi logam sudah lama berkembang
sejak awal masehi di nusantara, Pranata Mangsa: Sistem penanggalan musim
bukti kepandaian ilmu astronomi nenek moyang kita.
Jika Nenek Moyang Kita Mampu Menjadi LUAR
BIASA, Mengapa KITA TIDAK? Dalam sistem internasional masa lalu, nenek moyang
bangsa ini sudah mengarungi samudera untuk melakukan penjelajahan. Artinya, di
dalam sistem internasional ini leluhur kita pernah memegang panggung sebagai
aktor, karena menguasai informasi dan navigasi.
Semoga tulisan ringkas ini dapat memberi
inspirasi kepada kita semua untuk segera menggali potensi diri dan
mendayagunakan Tridaya Shakti yang sudah dianugerahkan Allah kepada kita semua.
(az).