SKJENIUS.COM, Cikarang.-- Salah satu cara Barat "menaklukkan" kembali negara-negara jajahan mereka yang sudah merdeka seusai Perang Dunia II adalah melalui Sekularisasi di berbagai bidang kehidupan. Sekularisasi adalah hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama.Tesis sekularisasi mengarah pada keyakinan bahwa ketika masyarakat "berkembang", terutama melalui modernisasi dan rasionalisasi, agama dan spiritualitas kehilangan kekuasaannya di semua aspek kehidupan sosial dan pemerintahan.
Sedangkan sekularisasi ilmu pengetahuan adalah
membuang segala bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan
dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan dan disterilkan
dari ruh dan didesakralisasi (di alam
tidak ada yang sakral). Sekularisasi ilmu pengetahuan secara epistemologi
menggunakan metodologi epistemologi rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme adalah alat pengetahuan yang
obyektif melihat realitas dengan konstan. Empirisme memandang bahwa sumber
pengetahuan yang absah adalah empiris.
Sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek
aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai, nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh
manusia pemakainya. Mereka memisahkan spiritual dan material (atau agama dan
dunia) dengan dikotomis. Sekularisme, inilah yang kemudian menjadi
landasan filosofi siatem ekonomi kapitalis.
Sementara itu, jika diperhatikan dengan cermat,
sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan di Indonesia adalah sekular-meterialistik.
Padahal, sejatinya tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia Indonesia
seutuhnya yang cerdas intelektual dan kokoh dalam spiritual. Namun sayangnya
sistem pendidikan yang dikembangkan negara saat ini masih memisahkan Ilmu
Pengetahuan (sains) dari unsur spiritualitas
Padahal Ilmu pengetahuan (sains) dan spiritualitas
adalah dua konsep yang berjalan beriringan, karena itu harus dibahas bersama di
semua kesempatan. Keduanya adalah aspek penting dari kehidupan manusia yang
membantu mereka mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang apa hidup dan
keberadaan mereka, dengan demikian, membantu mereka untuk mengatasi cobaan
hidup yang teratur.
Posisi
Sains dalam Konstruksi Pengetahuan Islam
Dalam pandangan Islam, semua ilmu berasal dari
Allah. Sebagaimana firmanNya: “Mereka
menjawab, Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami...”. (QS Al-Baqarah: 32). Bentuknya ada yang
berupa ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an dan al-Hadits), dan
ayat-ayat kauniyah (fenomena
alam yang terbentang di langit dan di bumi). Karena sama-sama bersumber dari
Dzat yang satu, maka keduanya tidak mungkin kontradiktif (dikotomik) melainkan integratif-interkonektif.
Kalau diperinci, pengetahuan yang dimiliki manusia menurut Prof. Ahmad Tafsir ada tiga kategori, yaitu :
- Pengetahuan filosofis yang bersifat abstrak logis.
- Pengetahuan saintifik atau sains yang bersifat empirik logis.
- Pengetahuan mistis yang bersifat abstrak supra-logis.
Kalau mau dipetakan lebih sederhana lagi,
pengetahuan Islam meliputi dua dimensi, pertama yaitu dimensi nalar
empirik-filosofis atau bisa juga dikategorikan sebagai “sains” dan yang kedua,
adalah dimensi mistik yang supra-logis atau bisa disebut dengan “spritualitas”.
Implementasinya dalam kehidupan manusia tergambar pada pribadi muslim paripurna yang oleh Allah diistilahkan dengan “ulul albaab”. Karakter mereka diantaranya seperti yang difirmankan Allah SWT:
“(Yaitu)
orang-orang yang zikir (mengingat Allah)
sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb
kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau,
lindungilah kami dari siksa neraka”. (QS Ali ‘Imran: 191).
Seorang ulul albaab dalam
menemukan kebenaran akan senantiasa menggunakan potensi spritualitasnya dengan
media zikir. Pada saat yang sama, dia juga menggunakan potensi
saintifiknya dengan memikirkan fenomena alam semesta. Kedua potensi
tersebut apabila dipadukan akan mengantarkan pada kesadaran transendental “...Rabbanâ mâ khalaqta hâdzâ bâthila
subhânaka faqina ‘adzâbannâr” (Ya Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan
semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari siksa neraka).
Dengan demikian untuk menyikapi fenonema pandemi
Covid-19 dan resesi ekonomi yang melanda negeri
ini, sains harus terlibat dengan cara terus berihtiar untuk menemukan vaksin
virus ini dan berbagai upaya logis yang bersifat preventif maupun kuratif. Hal
ini sesuai dengan prinsip sains, mengungkap materi yang masih tersembunyi.
Demikian juga dalam mengatasi resesi perlu Disiapkan Program Pemulihan Ekonomi
Nasional yang Tepat dan Cepat.
Namun demikian ada hal yang tidak boleh kita
lupa, bahwa sains hanya bisa menjangkau sesuatu yang empirik (indrawi) dan
sesuatu yang bisa dinalar (logis). Padahal dalam kehidupan banyak sekali
sesuatu yang abstrak dan tidak bisa dinalar karena memang obyeknya supra-logis.
Selain itu juga kebenaran sains bersifat probabilitas (mungkin benar-mungkin
salah) alias tidak mutlak benarnya.
Makanya sains tidak boleh arogan, karena ia
bukan satu-satunya perangkat untuk mengatasi seluruh problem termasuk pandemi
Covid-19 dan resesi ekonomi. Bahkan bisa jadi, pandemi yang tidak kunjung mereda
dan akhirnya membuat 49 negara terjungkal ke jurang resesi, merupakan “peringatan”
pada manusia modern yang terlalu bangga dengan kekuatan sains, melupakan
dimensi spritualitas.
Oleh karena itu, kita perlu menilik perspektif
lain yakni spritualitas Islam di samping upaya sains yang sudah berjalan.
Biarkan sains terus bekerja mengungkap fakta-fakta, sedangkan spritualitas akan
bekerja menemukan makna-makna yang tidak terjangkau oleh sains.
Kata “spiritual” terkait dengan dunia
batin, di mana penghayatan-penghayatan batin tak teramati oleh
metodologi ilmu pengetahuan modern. Pasalnya, ilmu pengetahuan terbatas pada
metodenya yang empiris, tidak bisa menjangkau hal yang transendental, apalagi
metafisis.
Itulah sebabnya peradaban modern (dengan sains dan teknologinya) selama ini tak mampu berurusan dengan masalah-masalah hidup manusia yang sesungguhnya, pada tingkat eksistensi manusia. Semoga sampai sini kita menyadari Penting dan Perlunya Spiritualitas.
Menyepi
: Melakukan Perjalanan Spiritual Menjemput Solusi ke Hadhirat-Nya
Sebagaimana kita ketahui bersama, manusia
modern memiliki cara berpikir rasional, pengembangan ilmu yang semakin dinamis,
sikap hidup pun cenderung dinamis dan futuristik. Namun, di samping hal yang
menggembirakan tersebut, kecenderungan kehidupan kontemporer itu sekaligus juga
menyeret manusia menjauh dari Allah.
Karena itulah peradaban manusia modern, yang
semata bertumpu pada sains dan kemajuan teknologi itu, seakan lumpuh tak
berdaya pada saat menghadapi Wabah Corona. Pandemi Datang, Ekonomi Meradang.
Prahara Covid-19 ini bagaikan badai yang sempurna (perpect storm) telah meluluh lantahkan setiap aspek kehidupan
manusia, termasuk masa depan dunia usaha dan industri, ekonomi bangsa dan
negara, juga daya beli masyarakat terpuruk.
Berbeda dengan, manusia modern yang semata
mengandalkan Rasionalitas Empirik dalam mengatasi masalah, maka Orang bijak
adalah orang yang mampu berbuat benar dan akan lebih tegar menghadapi masalah
seperti covid-19 dan resesi ekonomi yang melanda dunia termasuk Indonesia saat
ini.
Ketegaran seorang yang mengenal nilai-nilai
spiritual sebagai penghayat dan pengamal Tasawuf Transformatif,
reflek pertama pasti dengan kejernihan batin introspeksi, mawas diri apa sebab
kejadian luar biasa ini, semua kejadian tentang bencana apapun tentu kehendak (iaradat) Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti tsunami,
gempa bumi, termasuk wabah covid-19 dan resesi serta krisis ekonomi global saat
ini.
Simultan dengan itu adalah menata batin,
bersimpuh sujud dan berserah diri pada Allah. Menghadapkan jiwa dan raga kepada
Sang Pencipta, Rabb Yang Maha Berkehendak dan Maha Kuasa, berdo'a memohon
ampunan-Nya dan mohon petunjuk serta bimbingan-Nya agar bisa keluar dari
Kemelut Kehidupan ini.
Karena itulah, Rasulullah SAW menyendiri di gua
Hira untuk mencari sebuah solusi untuk kebebasan masyarakat. Beliau menyepi
untuk melakukan perjalanan spiritual ke Hadhirat-Nya. Hingga akhirnya turun
ayat tentang urgensi “membaca” secara utuh. Sehingga,
akhirnya Beliau bisa mentransformasikan jazirah Arab yang tak berbudaya dan
gersang menjadi semaju sekarang ini.
''Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu
Yang Menciptakan.'' (QS Al-'Alaq [96]: 1).
Firman Allah tersebut di atas berisi
pesan-pesan fundamental yang diberikan kepada Rasulullah SAW secara khusus dan
umatnya secara umum.Di antaranya, pesan untuk 'membaca'. Pesan ini
sangat penting agar manusia memfungsikan sejumlah perangkat indrawi yang Allah
SWT anugerahkan, seperti penglihatan, pendengaran, hati, dan akalnya secara
optimal.
Hanya saja, proses membaca itu harus disertai spirit mulia. Sebab, banyak orang cerdas sesudah membaca, tidak memberikan manfaat apa-apa. Bahkan, tidak jarang pengetahuan dan kecerdasan yang dimilikinya digunakan untuk menipu, menjerat, memperdaya, memanipulasi, dan mendatangkan bahaya.
Karena itu, Allah SWT menyatakan, ''Bacalah
dengan nama Rabb-mu.'' Artinya, tidak boleh hanya sekadar membaca.
Tapi, proses membaca tadi harus dilakukan karena Allah SWT dan untuk-Nya.
Inilah pesan selanjutnya yang bisa diambil dari ayat di atas.
Ini pula yang seharusnya menjiwai proses
penelaahan, penalaran, pengamatan, dan pembelajaran oleh seorang Muslim.
Dirinya harus selalu terkait dengan Allah Sang Pencipta.
Menyendiri untuk Menghasilkan Karya
Sebagai manusia yang memiliki kehidupan yang
sementara ini (temporal life), sudah
sewajarnya untuk selalu ingat ada Allah yang menciptakanseluruh jagad raya. Ini
adalah tanda-tanda kebesaran-Nya. Bahwa di alam ada sesuatu yang tidak bisa
dipecahkan oleh akal dan indra manusia.
Namun persoalannya tidak semua masyarakat sains
mau memahami bahwa Allah ada dan
senantiasa mengawasi dan mengatur alam. Hal ini karena sains yang
menghasilkan rumus itu, didasari oleh pandangan dunia (worldview) tertentu dalam memahami hakikat alam ini. Dimana
pandangan dunia ini nanti akan mempengaruhi kesimpulan dan sikap seseorang.
Jika ia memandang dunia ini dengan kacamata dualisme-sekularisme,
maka ia akan tidak menerima informasi-informasi yang datang dari agama (Al-Qur’an)
karena tidak empiris-ilmiah, sehingga Agama dan Sains menurut mereka sebaiknya
dipisah saja.
Jadi sangat berbeda dengan nenek moyang kita
bangsa Nusantara yang hidupnya berlandaskan budaya spiritual yang luhur.
Saat menghadapi masalah Beliau-beliau itu, justru pergi bertapa, menyepi,
menyendiri agar bisa berdo'a, meditasi atau semedi. Semedi, Cara Nenek Moyang
kita Mendekatkan Diri Kepada Sang Pencipta.
Menyendiri merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari menghasilkan karya. Darwin menyendiri setiap hari untuk
berfikir di kebun belakang rumahnya dari pagi hingga petang. Einstein
menyendiri di pojok kamar paten untuk memikirkan bagaimana cahaya, waktu, dan
relativitas berhubungan. Helen Keller menyendiri dalam kegelapan untuk mencari
terang bagi orang lain. Menyendiri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
perubahan sejarah.
Menariknya, saat ini menyendiri menjadi barang
yang antik. Bahkan, saat di kegelapan malam, cahaya layar handphone yang pintar
membuat kita merasa “tak sendiri”. Terputus dari ikatan
antara aku dan diriku. Tergantung perasaan dari like, share, atau view. Sungguh menyedihkan.
Bagi saya, menyendiri adalah bagian esensial.
Bukan karena introvert, yang memang
bawaan, tapi menyendiri selalu memberikan “sesuatu” untuk dibagikan. Menyendiri
tidak harus sepi. Buku bisa tetap menemani. Atau kertas dan pulpen untuk
menulis puisi atau mencatat ilham yang datang. Untuk kembali merasakan hidup
seutuhnya. Atau untuk memanggil dan berdo’a. Menyendiri adalah lorong untuk
menuju sebuah tempat yang asing bernama diri.
Seberapa sering menyendiri telah menjadi bagian integral hidup kita? Kelas yang ramai, lapangan yang hiruk, mal yang bising, warung kopi yang tak pernah sepi. Keramaian telah menarik diri kita dari diri sendiri. Mencampurkannya dengan berbagai sumber dan menjadikan diri bukan lagi putih, tapi terkadang merah, kuning, putih, abu-abu, hitam, dan merah. Tapi, diri yang sebenarnya, tak lagi dikenali.
I'tikaf Menjemput Peluang Bisnis ke Sisi-Nya
Maka, di saat menghadapi resesi ekonomi di
tengah eskalasi pandemi yang belum diketahui kapan berakhirnya ini, sudah
seharusnyalah kita meningkatkan kualitas social
distancing menjadi I'TIKAF. Sehingga dalam I'tikaf kita
dapat melakukan perjalanan spiritual pada Sepertiga Malam untuk menjemput
solusi terbaik ke Hadhirat-Nya.
Demikian juga, bagi pengusaha yang ingin
menciptakan peluang bisnis haruslah segera I'tikaf
untuk menjemput Peluang Bisnis Terbaik dari Sisi-Nya. Kita semua
membutuhkan sumber dalam hidup kita. Sumber adalah pemasok sesuatu yang
tidak dapat kita produksi sendiri. Dan inilah mengapa ada begitu banyak
kerusuhan, perang, kemiskinan, dan ketidakpuasan di dunia kita saat ini.
Orang-orang telah diabaikan dari satu sumber sejati mereka yang dapat memenuhi
setiap kebutuhan, keinginan dan harapan mereka.
Maka, sudah seharusnyalah di tengan ancaman
resesi ekonomi dan jepitan pandemi ini kita menyadari bahwa Allah, pencipta alam semesta, adalah
satu-satunya sumber sejati kita. Dia adalah sumber utama
kita untuk semua kebutuhan fisik dan spiritual dan emosional kita.
Ketika Allah menciptakan manusia, Dia
menempatkannya di sebuah taman yang indah (jannatul
firdaus) di mana semua kebutuhannya terpenuhi. Kemudian Allah mengutus
manusia sebagai Khalifah-Nya di bumi. Dia memberi manusia kekuasaan
atas bumi dan berkah-Nya, suatu kekuatan untuk menaklukkan dan memenuhi
bumi. Tetapi karena ketidaktaatan, manusia kehilangan
kekuasaannya. Jadi karena ketidaktaatannya itulah umat manusia terputus dari
Allah, Penciptanya, Rabb-nya dan Sumbernya.
Marilah
kita kembali ke Sumber yang Sejati. Allah adalah Sumber dari
segala Sumber di muka bumi ini. Sumber berkah, sumber hidup, sumber penolong,
sumber inspirasi, sumber kreativitas, sumber inovasi dan sumber segala yang
berkenan dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu letakkanlah pengharapan kita hanya
kepada Allah.
“Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia
akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan
memberinya rezeki dari arah yang
tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3
Kita memiliki akses ke Sumber segala
Sumber dan semua berkah yang dijanjikan-Nya kepada kita melalui
firman-Nya. Untuk itulah kita harus bisa percaya diri, apa pun keadaan yang
kita hadapi; tugas kita adalah tunduk, taat dan patuh
melaksanakan Petunjuk-Nya,
sementara hasil datang dari Allah. (az).