SKJENIUS.COM, Jakarta.— Subhanallah! Setengah tahun sudah kita menjalani Social Distancing. Pergerakan kita dibatasi, diharuskan Menghindari Kerumunan. Sehingga kita terpaksa Stay at Home. Indonesia pun Dilockdown oleh 59 negara. Sehingga ekspor impor dan Supply Chain pun terkendala. Ekonomi merosot, daya beli menurun. Bisnis macet, pekerjaan tertunda. Sulit mengembangkan usaha. Namun demikian, kita harus tetap Bersyukur atas segala Rahmat, Karunia dan Berkah-Nya selama ini dan seterusnya.
Sekalipun di bumi Lockdown, namun Langit masih Terbuka untuk kita. Dia membuka pintu-pintu langit seakan tiada jarak antara langit dan bumi, agar Do’a, Munajah dan Permohonan makin mudah dan segera sampai kepada-Nya. Sungguh Allah menghapus jarak antara LANGIT dan BUMI dgn MEMBUKA PINTU-PINTU LANGIT kepada hamba-Nya. Semoga saat Stay at Home, kita bisa rajin lebih mengetuk pintu langit dengan shalat, zikir, amal shaleh, sedekah dan Do’a.
Marilah kita kembangkan Self Quarantine menjadi I’tikaf Transformatif. Berdiam di Masjid untuk Menata Ulang Keseimbangan Olah Rasa dan Olah Pikir, sampai Terbuka Hijab. Sehingga kita bisa Menjemput Solusi ke Hadhirat-Nya. Sikap dan perilaku seperti inilah yang pernah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW sebelum beliau menerima wahyu yang pertama di Gua Hira pada 17 Ramadhan. Demikian juga teladan yang diberikan Guru Mursyid kita, Allahyarham Syaikh Inyiak Cubadak, H. Permana Sasrarogawa dan KH Abdurrahman Siregar dalam upaya menyelesaikan masalah melalui I'tikaf.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, bagi Umat Islam, terutama para Jamaah Majelis Dakwah Al-Hikmah (MDA) dalam masa pandemi seseorang patut mencontoh Guru Mursyid kita, Allahyarham Doctor (HC) Bagindo Muchtar, Pendiri Pengajian Gerak Qudratullah. Sebelum tampil sebagai pendakwah, Beliau memilih jadi “pertapa” (hermit) atau orang yang mengisolasi diri dari kehidupan sosial dan tinggal di tempat sunyi.
Situasi Doctor (HC) Bagindo Muchtar pada masa itu relevan dengan situasi dunia sekarang. Ini karena sebagian besar masa hidup Beliau berlangsung di tengah kesulitan ekonomi dan penyakit, bahkan dimusuhi dan diintimidasi oleh keluarga dekat Beliau sendiri. Saya meyakini pilihan Beliau untuk mengisolasi diri bertujuan agar dirinya bisa hidup dengan tenang di tengah kekacauan dan tetap bisa memiliki hidup yang berkualitas. Namun, yang perlu diingat ialah Bapak Bagindo Muchtar (BBM) melakukan isolasi diri adalah atas dasar kemauan Beliau sendiri.
Doctor (HC) Bagindo Muchtar adalah seorang Guru Spiritual yang tersohor di masanya. Beliau rutin menulis catatan yang kemudian dibukukan. Penulisan itu dimulai sejak Beliau berdakwah di Palembang, Sumsel (sekitar tahun 1958). Beliau mulai menulis/mengarang bukunya ‘Diriku Yang Kukenal.’ Penulisan buku ini tamat kira-kira 10 atau 11 tahun kemudian dan dikemukakan ke St. Olav’s Academy, Perancis, sebagai tesis untuk melayakkannya memperolehi ijazah ‘Doctor of Philosophy’ yang diterimanya pada hari sabtu 12 Jun 1971.
Isinya adalah petunjuk Allah (Ilham) yang Beliau peroleh selama Isolasi Diri, pendapat dan refleksi Doctor (HC) Bagindo Muchtar terhadap diri dan ajaran-ajaran Tasawuf Islam. Contohnya tentang Cinta Kasih sebagai nilai utama dalam ajaran Sufi. Dalam bab tersebut, Beliau menuliskan bahwa setiap pemberian Allah dilakukan atas dasar kasih abadi. Dalam bab lain, Beliau menjelaskan betapa keyakinannya terhadap Allah akan membuat segala sesuatunya baik. Dalam permenungannya, Beliau mendengar suara Allah yang menyebut bahwa ia dan segala umat manusia akan selalu ada dalam lindungan-Nya.
Buku ini adalah jejak nyata yang ditinggalkan Bapak Bagindo Muchtar (BBM) karena tidak ada catatan resmi yang menjabarkan soal kisah hidup Sang Pendakwah yang Bergerak Mengikuti Qudrat dan Iradat Allah. Beliau adalah pengasas (founder) Ilmu Mengenal Diri. Setelah melalui masa Isolasi Diri, Beliau tidak duduk di rumah saja, tetapi mengembara dari satu daerah ke satu daerah di seluruh pulau Sumatera; ke Palembang, Jakarta, Malaysia dan Singapura. Beliau senantiasa melapangkan masa menemui orang-orang yang datang meminta tolong, Beliau dikenali juga sebagai ahli sarjana atau ahli ilmu tasawuf.
Tridaya Shakti, Bekal Mengubah Dunia
Dalam Budaya Spiritual Nusantara kita mengenal istilah Tridaya Shakti, yakni Tiga Kekuatan maha dahsyat yang ada pada diri kita yaitu kekuatan Cipta, Rasa dan Karsa. Kekuatan inilah yang sebenarnya menggerakkan setiap aktifitas yang kita lakukan setiap hari mulai dari bangun tidur yaitu saat pertama kali kaki menginjak tanah/lantai hingga saat ketika kita melepas semua kepenatan hidup dan membaringkan tubuh kita untuk tertidur lelap.
Cipta ialah kekuatan yang membuat gambar-gambar terhadap rencana dan segala sesuatu yang telah terjadi berupa Citraan (gambaran) yang ada di benak kita. Kemudian Rasa ialah kekuatan halus yang menyelimuti dan menyatu dari setiap gambar-gambar atau citraan terhadap segala sesuatu yang membawa kesan, hal ini sering kita namakan perasaan (emosi pribadi). Dan yang terakhir adalah Karsa atau kehendak/tekad. Inilah kekuatan yang menggerakkan segala Cipta dan Rasa itu menjadi terlaksana.
Bagi orang-orang yang telah Mengenal Diri pribadinya, seharusnya sudah bisa mengatur Tridaya ini sehingga menjadi suatu kekuatan yang manunggal/menyatu. Untuk mendapatkan pembuktian dari kekuatan Tridaya yang ada dalam diri kita, alangkah baiknya selama masa Isolasi Diri (Self Quarantine) ini kita manfaatkan untuk meneliti (observasi) atas tindak-tanduk dan perbuatan yang kita lakukan selama ini. Apakah tindakan yang kita perbuat bermula dari adanya Cipta, Rasa atau Karsa. Hal ini diperlukan untuk bisa lebih memahami kekuatan yang lebih dominan dalam diri kita. Apakah Cipta, Rasa atau Karsa yang muncul lebih dahulu?
Hal ini penting, sehingga dikemudian hari kita lebih bisa memanfaatkan kekuatan Tridaya Shakti tersebut agar lebih optimal. Selanjutnya kita berusaha mentransformasikan hasil observasi itu ke dalam bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip yang kreatif tentang alam dan fenomena yang terjadi saat ini. Sehingga kita bukan hanya menjadi pelengkap penderita dalam situasi pandemi ini. Namun kesemua fenomena itu dapat kita manfaatkan dalam proses penciptaan makna, pemahaman dan arti dari informasi dan situasi yang kita hadapi saat ini.
Kita harus berupaya agar hasil observasi diri tersebut dapat membuka cara pandang dan mencari peluang baru dengan inovasi atas kekuatan yang ada dalam diri (inner power). Pasalnya, saat ini banyak orang yang bingung mencari peluang usaha baru. Ketimbang menganggur akibat pandemi corona, kenapa tidak mencoba peluang usaha baru yang bisa memberikan penghasilan yang cukup? Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga membuka kesempatan kerja bagi orang lain.
Akhirul Kalam, perlu kita sadari dalam tradisi budaya Nusantara, resep sukses itu terangkum dalam istilah cipta, rasa dan karsa. Tiga komponen kata tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan (tritunggal). Pada masa lalu, kemampuan manusia dalam mengolah cipta, rasa, karsa telah menghasilkan peradaban menakjubkan.
Inilah yang melahirkan peradaban besar di masa lalu, sebagaimana ditunjukkan orang-orang yang hidup pada masa Majapahit, Mataram, Singasari, Pagaruyung Minagkabau, Demak, Sriwijaya, dan lainnya. Begitupula dengan tokoh-tokoh besarnya, seperti Gajah Mada, Hayam Wuruk, Sultan Agung, Prabu Siliwangi, Wali Songo, Sultan Muningsyah Daulat Nan Basusu Ampek, Tuanku nan Renceh, Sukarno, Bung Hatta, Arupalaka, Diponegoro, dan lain-lain.
Itulah sebabnya, umumnya orang-orang tua dahulu sering mengatakan bahwa apabila kita bisa menyelaraskan 3 komponen Tridaya Shakti, Olah Rasa, Olah Cipta dan Olah Karsa, maka kita akan bisa merasakan nikmatnya kehidupan (kemakmuran dan kebahagiaan). (az)