SKJENIUS.COM, Jakarta. -- Kenapa Umat Muslim Terbelakang dalam Perkembangan Sains Modern? Ada apa dengan para ilmuwan Islam saat ini?
Demikian terungkap dalam Diskusi Webinar “Mengembangkan
Berbagai Metode yang Efektif dalam Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia
Indonesia," yang diselenggarakan Dewan Perancang Partai Nusantara
Bersatu. "Padahal, jika kita mau
membaca lagi catatan sejarah, prestasi sains umat Muslim memang dahulu
cemerlang sekali. Bahkan konon sampai melebihi pencapaian peradaban Barat (
Kristen Eropa)," kata Kyai Ageng Khalifatullah Malikaz Zaman.
Menurut Ketua Dewan Syura Majelis Dakwah Al-Hikmah, Kyai Ageng Khalifatullah Malikaz Zaman,
Muslim mendominasi perkembangan sains dunia semasa tahun 800 Masehi sampai
sekitar 3 abad kemudian. Umat Muslim saat itu menikmati kemajuan sains, ekonomi
dan budaya yang mengagumkan di bawah pemerintahan kalifah Harun al-Rashid
(786-809 Masehi) hingga beberapa kalifah setelahnya. Inilah yang disebut
sebagai Masa Kejayaan Islam.
"Masa ini
berakhir setelah kalifah Abbasid ditaklukkan Mongol dan direbutnya Baghdad pada
tahun 1258 M. Menurut Wikipedia, sejumlah cendekiawan sepakat bahwa akhir masa
ini ialah akhir abad ke-15 sampai abad ke-16 M," paparnya.
Maka, wajar jika kemudian muncul pertanyaan, "Mengapa Sampai Hari ini Umat Islam Masih Tertinggal? Pertanyaan ini selalu mengemuka bagi mereka yang sehari-hari bergelut dengan perjuangan menegakkan Islam, melanjutkan risalah Rasulullah saw. Kenapa saat ini lebih dari 1,3 milyar Muslim di dunia mundur, tidak maju dan tidak dapat memimpin dunia, sedangkan orang-orang non Muslim mengalami kemajuan yang mengagumkan dan memimpin peradaban dunia?
Pertanyaan hampir sama pernah diungkapkan oleh Syekh Muhammad Basyumi Imran, Imam bagi Kerajaan Sambas, Kalimantan kepada Ustadz Al Amir Syakib Arsalan. Surat itu disampaikan via pemimpin majalah Al Manaar, Mesir, Sayid Muhammad Rasyid Ridha. Oleh Rasyid Ridha jawaban dari Ustadz Syakib Arsalan itu diberi kata pengantar dan dicetak menjadi sebuah buku yang terbit pertama kali pada 1349 H. Buku itu diberi judul "Limadza taakharal Muslimun wa limadza taqaddama ghairuhum?" (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Kaum non Muslim Maju?)
Sinergitas
Religius, Spiritualitas dan Sains
Menurut Kyai Ageng Khalifahtullah Malikaz Zaman, para
sejarawan ilmu dan agama, filsuf, teolog, ilmuwan, dan lainnya dari berbagai
wilayah geografis dan budaya di masa lampau telah mampu menyinergikan berbagai
aspek hubungan antara Islam, Spiritualitas dan ilmu pengetahuan.
Sehingga mereka menjadi Ulil Albab, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab (orang-orang yang berakalcerdas)." (QS. 'Ali 'Imran : 190).
Allah menjelaskan kepada kita bahwa sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang Ulil Albab. Ulil Albab adalah orang² berakal yang memiliki tiga ciri
yg paling utama yaitu zikir dan pikir dan ukir
(karya).
“(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah (zikir)
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. 'Ali 'Imran :191).
Oleh karena itu, kata Kyai Ageng, jika umat Islam ingin mengejar ketertinggalannya maka hal itu harus dimulai dari membenahi sistem pendidikan. Para cendekiawan muslim, terutama yang bergerak di dunia pendidikan harus mampu mengeksplorasi bagaimana nilai- nilai Religius dan spiritualitas dapat meningkatkan dan melayani misi Pendidikan lembaga pendidikan tinggi.
Kyai Ageng Khalifatullah Malikaz Zaman menganjurkan
untuk mengembangkan pendidikan holistik
baru dalam kerangka kerja yang sebagian didasarkan pada model pembelajaran
kognitif-afektif, yang memungkinkan siswa menerima pendidikan secara terpadu
dalam memahami Islam dan Spiritualitas yang disinergikan ke dalam pengalaman
pendidikan mereka.
Dengan mengembangkan Sistem Pendidikan Holistik yang
bertumpu pada Zikir, Pikir dan Ukir itulah, kata Kyai
Ageng, para siswa akan terbangun intelektualitas dan spiritualitasnya, sehingga
menjadi konsep baru yang mengubah hidup mereka, pemahaman mereka tentang diri
mereka sendiri, dan dunia.
"Bukankah
tujuan tertinggi pendidikan untuk membekali siswa dengan alat analisis dan
refleksi yang memperdalam mereka pemahaman dan kemampuan untuk berhubungan
dengan diri sendiri, orang lain, dan dunia sehingga mereka bisa berkontribusi
secara berarti bagi dunia dan peradaban manusia melalui hidup mereka?"
Tegas Kyai Ageng Khalifatullah Malikaz Zaman.
Menyeimbangkan
Antara Spiritual, Intelektual, Dan Profesional
Sementara itu, dalam sebuah tulisannya, Prof. Dr. H.
Imam Suprayogo menyebutkan, Islam mengajarkan tiga aspek pada diri manusia,
yaitu spiritual, intelektual, dan profesional,
supaya dikembangkan secara seimbang. Kegiatan
spiritual supaya dilakukan pada sepanjang waktu, melalui berdzikir atau
mengingat Allah. Disebutkan di dalam al Qur'an pada surat Ali Imran ayat 190,
bahwa ingat Allah hendaknya dilakukan ketika sedang berdiri, duduk, dan
berbaring. Masih merupakan kegiatan spiritual lainnya adalah shalat, setidaknya
dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari semalam.
Selanjutnya, Islam juga mengajarkan agar manusia mengembangkan intelektual seluas-luasnya. Akal sedemikian penting dalam berbagai aktifitas. Banyak sekali ayat al Qur'an menyebut tentang betapa pentingnya seseorang menggunakan akalnya. Orang yang tidak menggunakan akalnya disebut bodoh. Islam mengajarkan agar kebodohan disingkirkan sejauh-jauhnya.
Itulah sebabnya, islam mendorong
umat manusia mengembangkan ilmu pengetahuan secara tidak terbatas, atau
seluas-luasnya, dan hendaknya dilakukan sejak dari ayunan hingga masuk ke liang
lahat. Dengan demikian, Islam memandang betapa pentingnya ilmu pengetahuan
seharusnya dimiliki dan dikembangkan oleh siapapun. Islam melalui Al Qur'an
menganjurkan agar manusia memikirkan penciptaan langit maupun bumi.
Terkait dengan konsep
profesional, Islam mengajarkan tentang amal shaleh dan juga ikhsan. Beramal
sama artinya dengan bekerja, sedangkan shaleh dapat dimaknai dengan tepat,
sesuai, berkualitas dan atau terbaik.
"Bahkan
Islam juga memiliki konsep ikhsan,
yang artinya adalah terbaik. Tatkala memilih di antara yang baik-baik, sesuai
dengan konsep ikhsan itu, maka hendaknya memilih yang terbaik. Ukuran terbaik,
tentu harus dimaknai secara luas, mendalam, dan menyeluruh, yakni terbaik dalam
berbagai perspektifnya," pungkas Prof. Dr. H. Imam Suprayogo. (az).