SKJENIUS.COM, Jakarta,-- Sederetan kasus pelanggaran HAM ternyata juga banyak bermunculan di Indonesia. Masalah ini hadir sejak puluhan tahun yang lalu. Namun pemerintah saat ini bahkan pendahulunya tak mampu menuntaskannya hingga benar-benar clear! Alasan para pemimpin biasanya mereka berfokus pada masalah ekonomi.
Setidaknya sampai 12 Desember 2019 ada 10 kasus Pelanggaran
HAM Berat Masa Lalu yang Ditangani pemerintah, yaitu:
- Peristiwa 1965 - 1966,
- Penembakan Misterius (1982 - 1986),
- Pembantaian Talangsari, Lampung (1989),
- Tragedi Rumoh Geudong di Aceh (1989 - 1998),
- Penembakan Mahasiswa Trisakti (1998),
- Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa (1997 - 1998),
- Tragedi Semanggi I dan II (1998 - 1999),
- Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) di Aceh (1999),
- Peristiwa Wasior, Manokwari, Papua (2001),
- Kasus Wamena, Papua (2003)
Sementara itu, Koordinator Badan Pekerja, KontraS (Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Fatia Maulidiyanti,
sebagaimana ditulis dalam https://kontras.org, menyebutkan sejumlah peristiwa
kelam hak asasi manusia di Bulan September dari masa ke masa senantiasa hadir
dalam mengingatkan negara memenuhi tanggung jawabnya. Tragedi pembantaian
1965-1966, tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan
Munir 2004, hingga brutalitas aparat dalam aksi Reformasi Dikorupsi 2019
menunjukkan rantai kekerasan terus berlanjut tanpa ada satupun mata rantai yang
diselesaikan secara tuntas dan secara berkeadilan. Dari rangkaian peristiwa
yang berlangsung hingga kini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan mengenangnya sebagai September Hitam.
Menurut, Fatia Maulidiyanti, KontraS melihat negara semakin menjauh untuk menuntaskan deretan peristiwa di atas. Negara semakin tidak punya malu menunjukkan langkahnya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tersebut. Hal ini terlihat dari aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa pelanggaran HAM tersebut masih bisa menduduki posisi atau jabatan penting dalam pemerintahan, pernyataan pejabat publik yang kontradiktif dengan arah penyelesaian kasus, hingga ketidakjelasan dalam merevisi UU Pengadilan HAM.
Pada momentum September Hitam 2020, KontraS terus mendesak
negara untuk menyelesaikan daftar hitam kasus pelanggaran HAM secara
berkeadilan dalam kerangka hak asasi manusia yang melingkupi keseluruhan aspek
kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan guna menghapus
impunitas dan menebus dosa negara di masa lalu.
Atas dasar tersebut, KontraS mendesak agar:
1. Jaksa Agung melakukan penyidikan terhadap seluruh
kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM
agar keseluruhan kasus tersebut dapat segera ditindaklanjuti sesuai dengan
mandat UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM melalui proses yudisial;
2. Komnas HAM dan LPSK berkoordinasi untuk memberikan upaya
pemulihan yang menyeluruh kepada seluruh korban pelanggaran HAM sebagai bentuk
reparasi yang dilakukan secara beriringan dengan proses yudisial terhadap
kasus-kasus pelanggaran HAM berat;
3. Pemerintah dan DPR RI segera melakukan revisi terhadap UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM agar dapat secara lebih efektif
menjadi landasan hukum baik bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat
secara yudisial maupun pemenuhan hak reparasi bagi korban.
Komnas HAM Banyak
Terima Aduan Dugaan Pelanggaran HAM yang Libatkan Kepala Daerah
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
( Komnas HAM) Hairansyah mengungkapkan, pihaknya banyak menerima aduan
dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan jajaran kepala daerah.
Pengaduan ini terkait dugaan pelanggaran di berbagai sektor.
"Dalam
banyak pengaduan yang disampaikan ke Komnas HAM, pemerintah daerah adalah salah
satu pihak yang paling banyak diadukan terkait dengan dugaan pelanggaran
HAM," kata Hariansyah dalam sebuah diskusi virtual yang digelar
Rabu (29/7/2020).
Menurut Hariansyah, pengaduan yang diterima Komnas HAM itu
misalnya terkait kasus konflik agraria, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.
"Lalu konflik masyarakat adat,
kelompok rentan, perburuhan, tenaga kerja, yang seluruhnya melibatkan
pemerintah daerah," tambahnya, sebagaimana dilansir
https://nasional.kompas.com.
Melihat kecenderungan itu, Hariasnyah menyebut bahwa kepala
daerah punya peran penting dalam proses penegakan dan perlindungan HAM di
daerah. "Hal itu sebenarnya juga
telah diatur dalam Pasal 28e Ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 yang menyebut
bahwa tanggung jawab pelaksanaan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM ada
pada negara, terutama pemerintah, termasuk pemda," kata Hariasnyah.
Sebagai rakyat kecil tentu saja, kita berharap pemerintahan
Jokowi-Ma'ruf dapat memberikan solusi terbaik untuk menyelesaikan
berbagai kasus HAM tersebut di atas. (az).