SKJENIUS.COM, Jakarta.-- VIRUS corona tak hanya menyebabkan gelombang kematian. Pandemi ini juga telah membuat dunia usaha babak belur. Badai PHK pun melanda, jutaan orang kehilangan pekerjaan. Sementara itu, gelombang penolakan terhadap omnibus law, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja membesar seiring dengan pembahasan yang terus dilakukan DPR.
Penolakan RUU Cipta Kerja tak lepas dari kekhawatiran publik
karena rancangan tersebut diyakini akan membuka keran penderitaan masyarakat.
Karena itulah, berbagai elemen masyarakat menolak Omnibus Law. Karenaitulah,
secara bergelombang massa tenaga kerja yang tergabung berbagai Gerakan Buruh
menggelar aksi penolakan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja di depan
gedung DPR. Mereka menolak Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja karena akan
mempermudah PHK, menghilangkan pesangon, rentan diskriminasi serta penghapusan
pidana ketenagakerjaan.
Seiring dengan itu, Kalangan Akademisi, Pakar Muda Hukum Tata
Negara dan Praktisi Hukum, Constitutional Lawyer pun mempertanyakan motivasi
dan kepentingan dibalik masih bergulirnya pembahasan RUU Cipta Kerja ini di DPR
"Kenapa
harus mempertaruhkan Nilai-nilai Hukum, Keadilan, Kemanusiaa dan Perlindungan
Tenaga Kerja untuk Mengejar Pertumbuhan Investasi?"
Menurut Direktur Law Firm Pedang Keadilan & Partners,
Z.Saifudin, S.H.,M.H, selain berdampak secara hukum, maka juga terdapat dampak
buruk bagi tenaga kerja dan lahan masyarakat. Jelas berpotensi besar tenaga kerja
asing dapat menggusur posisi tenaga kerja dalam negeri. Upah buruh makin tidak
jelas.
"Perlakuan perusahaan yang wenang-wenang dapat merugikan nasib pekerja khususnya bagi pekerja yang belum tetap. Pun juga penyerobotan lahan-lahan rakyat dapat terjadi dengan ganti rugi yang tidak layak. Tentunya investor yang dapat keuntungan besar," katanya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Z.Saifudin, S.H,
M.H, mengingatkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 merupakan jaminan konstitusi
bagi warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Negara hadir
memberikan jaminan kebijakan. Negara identik sebagai ibu yang memberikan
kenyamanan pada anak-anaknya. Keadilan memang bersifat alternatif. Banyak
perspektif dan tidak dapat memberikan persamaan pada semua belah pihak.
"Nah, hal ini apakah linear dengan norma hukum dari Pasal 1 ayat
(1) RUU Cipta kerja?. Secara umum ada redaksional “.........investasi
pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional,"
tandasnya.
Ditegaskan oleh Direktur Kantor Hukum Pedang Keadilan itu,
jika dimaknai secara gramatikal dan substansial sangat kontradiktif.
Inkonsistensi. Ada ketimpangan keadilan. Berpotensi menguntungkan salah satu
pihak. Pihak lain khususnya warga negara dapat tertimpa kerugian akibat
kebijakan yang tidak adil. "Berhubung
masih dalam pembahasan tingkat I, maka dapat ditunda atau dibatalkan RUU CIPTA
KERJA tersebut agar dicabut dari Prolegnas. Agar tidak disahkan menjadi
UU," pungkas Direktur Kantor Hukum Pedang Keadilan, Z.Saifudin, SH,
MH. (az).