SKJENIUS.COM, Cikarang. -- MIRIS! Setelah 75 tahun merdeka dari kolonialisme, namun para Raja dan Sultan, Yogyakarta dan Paku Alam, justru belum mendapatkan tempat dan peran yang strategis secara formal dan konstitusional dalam bingkai NKRI. Bahkan, Revitalisasi Kerajaan dan Kesultanan yang ada diberbagai daerah pun mendapat aral dan kendala yang cukup berat.
Demikian diungkapkan oleh Ketua Dewan Perancang Pembentukan
Partai Nusantara Bersatu, KGPH Eko Gunarto Putro, Mda dalam Diskusi bertajuk "Revitalisasi
Kerajaan dan Kesultanan se Nusantara dalam Bingkai NKRI," yang
diselenggarakan oleh Dewan Perancang Partai Nusantara Bersatu di Pendopo
Al-Hikmah, Cikarang, Jawa Barat. "Kepentingan
politik daerah, intervensi lembaga adat bentukan pemerintah, dinamika terkini
paguyuban Kerajaan/Kesultanan di Nusantara hingga konflik silsilah dalam
internal keluarga Sultan, masih menjadi faktor yang mewarnai upaya revitalisasi
tersebut," imbuh Kangjeng Eko.
Sebagai contoh Kangjeng Eko menyebutkan, ada sebuah Kesultanan
Melayu di sebuah Propinsi di Sumatera, Sultan yang baru memang telah dilantik
sedari 2012, namun eksistensinya belum mendapat tempat dan pengakuan layak
dalam kehidupan masyarakat di Provinsi tersebut. "Sultan terpilih bahkan
melakukan ‘perlawanan’ terhadap Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi itu dan
pemerintah daerah di masa Gubernur yang tidak bisa saya sebut namanya, bahkan
mungkin hingga pemerintahan sekarang, sehingga belum ada sama sekali pertemuan
untuk membahas upaya revitalisasi Kesultanan Melayu tersebut”, katanya.
Padahal, menurut Kangjeng Eko, Kerajaan dan Kesultanan
mempunyai peran strategis sebagai penyejuk hati rakyat serta pendamai
pertikaian para elite politik dalam memelihara dan menjaga Negara Kesatuan
Republik Indonesia di masa kini dan masa lampau.
"Tidak pernah
dalam sejarah dunia sebelumnya, ketika keadaan terjajah, kemudian para penguasa
lokal atau raja-raja di seluruh nusantara begitu mudah dan ikhlas menyerahkan
kekuasaan mereka dengan segala konsekuensi konstitusionalnya kepada suatu
negara baru yang baru sekedar nama pada saat itu," ujar Kangjeng Eko.
Dipaparkan oleh Ketua Dewan Perancang Pembentukan Partai
Nusantara itu, bahwa uang sebesar 13 juta gulden tentu saja bukan jumlah yang
kecil. Jika ditakar dengan ukuran sekarang, nominalnya kira-kira setara 69 juta
euro atau lebih dari 1 triliun rupiah. Segepok uang itulah yang diberikan
secara cuma-cuma oleh Sultan Syarif Kasim II kepada Presiden Sukarno.
"Tak hanya itu, Syarif Kasim II juga tidak segan-segan menyerahkan
mahkota dan nyaris seluruh kekayaannya. Ini dilakukan sebagai penegas bahwa
Kesultanan Siak Sri Inderapura yang dipimpinnya meleburkan diri ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," paparnya.
Maka sudah sepantasnyalah, kata Kangjeng Eko, pemerintah memberikan tempat dan peran kepada para pewaris Kerajan dan Kesultanan se Nusantara dalam arena politik dan pemerintahan, sebagai utusan daerah dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPD), duduk dalam Wantimpres serta diberikan dana khusus dalam APBN dan APBD untuk mengembangkan Adat dan Budaya di wilayahnya masing-masing.
"Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, kami mengajak para Raja dan Sultan untuk Go
Politik agar bisa memperjuangkan hak dan peran Beliau-beliau Paduka Yang Mulia
itu secara Konstitusional bersama Partai Politik yang kita dirikan
bersama," ujat Ketua Dewan Perancang Pembentukan Partai Nusantara
Bersatu.
Pasalnya menurut Kangjeng Eko, UUD 45 membuka peluang kepada
NKRI untuk mengakui Kerajaan dan Kesultanan secara formal eksistensinya di
Indonesia, dan masuk dalam hierarki pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Pengakuan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945,
yang berbunyi: “Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Pengakuan Atas Hak Ulayat Raja dan Sultan
Kanjeng Eko menguraikan, Kasultanan sebagai badan hukum
merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Kasultanan. Tanah
Kasultanan meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat di
seluruh kabupaten/kota dalam wilayah kesultanan atau kerajaan tersebut. Namun
sayangnya, sebagian besar tanah kerajaan itu sempat dirampas Belanda untuk
perkebunan maupun pembangunan kota.
“Tapi, ironisnya tanah
ulayat itu tidak kembali ke Kerajaan dan Kesultanan, tetapi sudah beralih
status menjadi tanah milik negara. Negara pun tidak memberikan kepada rakyat
kecil, tetapi kepada pemilik perusahaan perkebunan", imbuh
Kangjeng
Padahal, kata Kangjeng Eko, ada ketentuan hukum adat yang
berlaku di tenagah masyarakat adat Nusantara, sebagaimana disebutkan dalam
pepatah ninik mamak di Minangkabau, yaitu kabau pai kubangan tingga (red-‘kerbau
pergi kubangan tinggal’)". Hal ini, merupakan suatu perumpamaan atau
analogi bila seekor kerbau meninggalkan kubangan, maka kubangan itu kembali
kepada si pemilik kubangan.
"Maknanya,
semasa Belanda menjajah, maka mereka “berkubang” di Tanah Ulayat Adat Nenek
Moyang kita. Maka, ketika si penjajah angkat kaki dari Bumi Nusantara,
seharusnya “kubangan” itu kembali kepada pemilik, yakni Pewaris Tanah
Ulayat," tegas Kangjeng Eko.
Namun demikian, Kangjeng Eko menjelaskan, para Raja dan
Sultan tentu saja menyadari bahwa negara kita tidak lagi menganut sistem
kerajaan, tetapi demokrasi. Maka, peran strategis yang diperjuangkan sekarang
ini, diutamakan kepada upaya pelestarian adat dan budaya, yang bersumber dalam
tradisi panjang masing-masing Kerajaan dan Kesultanan.
“Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Butuh tenaga, pikiran, kerjasama berbagai pihak, dan keihlasan serta dana yang besar untuk mewujudkannya. Karena itulah diperlukan perhatian serius dari pemerintah pusat dan daerah untuk melestarikan dan merevitalisai peran strategis Kerajaan dan Kesultanan dalam Menjaga NKRI," pungkas Ketua Dewan Perancang Pembentukan Partai Nusantara itu. (az).