SKJENIUS.COM, Jakarta.-- Ketakutan luar biasa mencekam dunia sejak wabah virus corona (COVID-19) yang mematikan muncul di Wuhan, China pada Desember lalu. Ratusan ribu manusia telah terjangkit sengatannya. Puluhan ribu jiwa telah ditewaskannya. Ratusan negara telah menikmati keganasannya. Para pemimpin negara pontang-panting dan dituntut berpikir ekstra menyelamatkan rakyatnya.
Ada berbagai alasan masuk akal yang membuat banyak orang panik dan takut atas munculnya COVID-19, yaitu :
- Virus ini, masih terlalu misterius untuk dapat dikalahkan oleh sofistikasi teknologi kesehatan mutakhir,
- Virus itu bisa menyebar dengan cepat dan menimbulkan gejala yang bisa berujung pada kematian jika tidak ditangani dengan segera dan benar,
- Belum ada anti-virus atau vaksin untuk virus yang masih sekeluarga dengan SARS ini,
- Virus corona telah memporakporandakan Perekonomian Dunia. Bahkan, sudah sembilan negara Kapitalis terjungkal ke jurang resesi.
Sementara itu, di Indonesia, hampir setengah tahun prahara
corona mencemaskan kita semua. Ribuan orang meninggal dan pertumbuhan ekonomi
anjlok di kuartal II 2020, minus 5,3 persen. Karuan saja, pertumbuhan ekonomi
pada kuartal ketiga ini (Juli-september) menjadi tantangan terberat bagi
pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Apakah
Indonesia akan masuk jurang resesi atau tidak?
Namun, di tengah, kecemasan, ketakutan dan kondisi ekonomi
yang sulit itu, berbagai aksi solidaritas, tolong-menolong, maupun gotong
royong dalam membangun kehidupan bersama tumbuh dan mekar. Hal inilah yang
memunculkan semangat optimisme. Bahkan kesadaran spiritualitas – kesadaran
dalam membina relasi atau hubungan dengan Allah maupun sesama – juga muncul di
tengah pandemi tersebut.
Kesadaran itulah yang menjadikan manusia kuat dan tetap
bertahan dalam situasi ini. Berangkat dari kesadaran spiritualitas yang
demikian, pandemi dalam hal ini dipandang tidak hanya sebagai bala atau
musibah, tetapi juga pepeling (Ayat-ayat Allah) atau cara
Allah mengingatkan manusia sebagai makhluk yang punya batas.
Pasalnya, hari ini banyak manusia kehilangan kemampuan sampurnaning
manembah, kehilangan cara berhubungan dengan Yang Maha Kuasa (Shalat
Khusyu’) lewat olah batin, sebagai akibat dari kesibukan jasmani dan
duniawi. Melalui pandemi, manusia diajak untuk melakukan sebaliknya. Di tengah
dunia yang makin riuh dan sibuk itu, corona mengajak orang untuk kembali
mencari keheningan dalam diri dan membawa nilai-nilai yang lebih bermakna.
Corona menyuruh kita melakukan Social Distancing (pembatasan sosial), Stay at Home (diam di rumah), Pakai Masker (tutup mulut), agar kita bisa menentramkan jiwa dan raga. Dalam kondisi jiwa tenang, maka kita akan semakin dekat untuk bisa mendengarkan Kehendak dan Petunjuk Allah. Sekaligus, saat diam dan tutup mulut, manusia berkesempatan mengkalkulasi peran yang telah dibuatnya bagi bumi dan keutuhan ciptaan.
Dalam arus sekulerisme yang telah menjalar di hampir semua
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa ini, telah melahirkan kehampaan
kehidupan. Cara berpolitik para pemimpin negeri ini, seakan-akan tak lagi
berpijak kepada nilai-nilai spiritual. Karena itulah diantara mereka berlaku
pameo "Tidak Ada Kawan dan Lawan Abadi, yang Ada Hanya Kepentingan
Abadi," dan "Tidak Ada Makan Siang Gratis (No
Free Lunch)."
Pijakan spiritual menghajatkan sebuah kesadaran mendalam
bahwa apapun tugas yang diemban hakekatnya adalah bentuk penghambaan kepada
Allah Sang Maha Pencipta. Sebab Allah menciptakan manusia memiliki tujuan
spiritual, yakni penghambaan dan pengabdian kepada sang Pencipta.
Kemajuan Peradaban
Berbanding Lurus Dengan Kesadaran Spiritual
Seluruh rakyat Indonesia sangat mendambakan segera
terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkemajuan, sejahtera, dan
damai. Namun, sudah 75 tahun, hingga kini Indonesia masih belum merdeka dari pengangguran
dan kemiskinan yang tinggi serta daya saing ekonomi rendah. Yang lebih
mencemaskan, ketergantungan utang, teknologi, ekonomi, dan politik bangsa kita
pada pihak asing pun ternyata sangat tinggi. Mengapa hal ini sampai terjadi !?
Dalam A Study of
History, sejarahwan terkemuka Inggris Arnold Toynbee melakukan pelacakan
terhadap faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar dua puluhan peradaban. Pada
setiap kasus, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses
melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, bangunan negara
(dan peradaban) tanpa landasan transenden, ibarat bangunan istana pasir. Jadi,
studi Toynbee tersebut mengisyaratkan adanya hubungan yang erat antara
nilai-nilai spiritual keagamaan dengan kemajuan bangsa dan peradaban.
Dalam kaitan itulah, perlu kita sadari bahwa untuk dapat
keluar dari Krisis Ekonomi, suatu bangsa tidak hanya memerlukan transformasi
institusional, tetapi juga membutuhkan transformasi spiritual.
Pasalnya, ekonomi itu, sejatinya tetap berpusat pada kesadaran spiritual dan
perilaku manusia itu sendiri. Maka, Kesadaran
Spiritual Penting dalam Strategi Pemulihan Ekonomi Masa Pandemi.
Momentum Kebangkitan Kesadaran Spiritual
Dengan demikian, kalau Indonesia mau bangkit, maka pemimpin
negara harus mampu menjadikan permasalahan Covid-19 sebagai momentum
kebangkitan kesadaran spiritual yang mengarahkan warga bangsa pada
kehidupan etis penuh welas asih. Kesadaran Spiritual akan menghubungkan
seseorang dengan Percikan Cahaya Ilahiyah yang ada dalam dirinya sendiri,
sehingga pencerahan muncul, fisik menjadi sangat energik, optimisme berlimpah,
kreativitas dan inovasi pun berkembang.
Dalam proses transformasi ini, seperti ditekankan oleh Karen
Amstrong dalam The Great Transformation (2006), persoalan agama tidak
berhenti pada apa yang kita percaya, melainkan terurama pada apa yang kita
perbuat. Maka, marilah kita kembali ke Jati Diri Bangsa yang Berlandaskan pada
Kesadaran Spiritual.
Kesadaran spiritual merupakan kesadaran (consciousness)
yang paling tinggi diantara kesadaran fisik dan emosional.
Tingkat kesadaran yang paling tinggi ini menuntun manusia mendapatkan
“makna”
ketika menggunakan hatinya sebagai sensor. Seiring meningkatnya tingkat
kesadaran spiritual seseorang, sikap dan perspektifnya tentang kehidupan
berubah secara dramatis.
Semakin tinggi tingkat kesadaran spiritual seseorang,
semakin banyak pula prinsip Tuhan Yang Maha Esa yang termanifestasi di dalam
kehidupannya. Oleh karena itu, keadaan Indonesia saat ini hanya dapat
diperbaiki jika rata-rata tingkat kesadaran spiritual seluruh manusia
meningkat. Hal ini hanya akan terjadi bila masyarakat mulai menjalankan
latihan spiritual secara Terstruktur, Sistematis dan Massive. (az).