SKJENIUS.COM, JAKARTA.-- Sebagai sesama anak bangsa, kita semua tentu merasa prihatin atas nasib kaum buruh di Indonesia yang diterjang badai PHK di tengah wabah Covid-19. Bahkan, bukan hanya terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal saja yang dihadapi buruh saat ini. Tapi juga ancaman Omnibus Law, RUU Cipta Kerja, yang dikhawatirkan membuat nasib pekerja dan rakyat semakin tidak menentu.
Karena itulah mereka seringkali terpaksa melawan arus, turun
ke jalan untuk melakukan Unjuk Rasa. Bahkan di tengah merebaknya Pandemi
corona, kaum buruh kembali menggelar demonstrasi menjelang pidato
Presiden Jokowi tentang RAPBN 2021 di dekat gedung DPR/MPR
Jakarta, Jumat siang, 14 Agustus 2020.
Mereka menuntut pencabutan dan
pembatalan omnibus law. Pasalnya, RUU Cipta Kerja itu banyak
menegasikan hak-hak dasar buruh/pekerja. Seperti Pada pasal 89 poin 20
tercantum, pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan
untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. Upah minimum pun tidak diatur
secara nasional.
Selain itu, massa juga menuntut negara harus
bertanggung jawab atas pemutusan hubungan kerja atau PHK hingga
perampasan upah buruh Indonesia dengan dalih pandemi virus corona atau
Covid-19. Massa berkumpul dan berorasi di Jalan Gerbang Pemuda, beberapa kilometer
dari depan gedung DPR/MPR. Massa aksi terdiri dari beberapa elemen
organisasi diantaranya Front Perjuangan Rakyat, Front Mahasiswa Nasional,
hingga Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI).
Demikianlah Gerakan
Kaum Buruh Indonesia adalah Sejarah Panjang Perjuangan Pemenuhan Hak
Asasi Manusia. Hampir dalam setiap kesempatan buruh menuntut pihak
lain, dalam hal ini pemerintah dan pengusaha, untuk meningkatkan kesejahteraan
para pekerja. Pasalnya, kalangan buruh menilai Pemerintah terlalu berpihak
kepada kepeningan pemodal dan pengusaha, yang akhirnya membuat gerakan serikat
pekerja dan rakyat bangkit melakukan perlawanan.
Maka, perjuangan kesejahteraan buruh, pada dasarnya bermakna
tunggal, yaitu menekan pemerintah untuk memberlakukan peraturan yang memaksa
pengusaha untuk memberikan sesuatu yang lebih baik bagi buruh sesuai dengan
kaidah yang berlaku dalam Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Pasalnya,
regulasi yang ada, baik undang-undang atau peraturan lainnya sejak awal memang
belum berpihak pada buruh, terlebih pada implementasinya.
Kita berharap, agar terjadinya badai PHK di tengah Prahara
Covid-19 ini, membuka pintu hati petinggi negara dan para wakil rakyat di DPR
dan memaknainya sebagai interupsi spiritual dengan janji
kemenangan bagi mereka yang menderita dan memahaminya sebagai peringatan
terhadap fenomena "penindasan hak asasi manusia".
Kebijakan dari pemerintah harus berpihak pada buruh, jangan
hanya berpihak kepada para pengusaha saja. Law Enforcement atau
penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan tak pandang bulu terhadap para
pengusaha nakal yang tidak memenuhi hak-hak buruh. Selama ini masih ada kesan,
bahwa buruh diabaikan hak-haknya, sedangkan perusahaan dilindungi dan dibela
kepentingannya. Sementara itu, hak-hak buruh sampai hari ini masih jauh dari kelayakan,
masih jauh dari apa yang seharusnya mereka dapatkan.
Untuk itu, perlu segera dilakukan upaya perbaikan yang riil
tiap tahunnya, seperti menindak perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi
kewajibannya, memastikan jaminan keselamatan bagi para buruh, dan semacamnya.
Pasalnya, berbagai permasalahan-permasalahan yang ada dalam dunia buruh seperti
masalah buruh kontrak, upah minimum yang masih belum ditepati, ketiadaan
jaminan kesehatan, dan lain sebagainya masih terus terdengar.
Jadi, sangat logis dan sudah pada saluran demokrasi yang benar,
apabila para buruh selalu menyuarakan tuntutan-tuntutan mereka. Karena itulah
para wakil rakyat di DPR, DRPD I dan DPRD II haruslah Membela dan Turut
Memperjuangkan Nasib Buruh Demi
Terciptanya Hubungan Industrial Yang Harmonis. Semoga dalam menghadapi era
revolusi industri 4.0, Indonesia bisa bangkit. Karena di era industri 4.0 ini
tidak lain adalah mengubah mindset dan paradigma untuk saling sinergi,
dinamis,
dan harmonis. (az).