SKJENIUS.COM, Jakarta.-- Virus Corona Mengganas, semua orang jadi was-was dan gelisah. Rasa cemas dan stres pun muncul ketika melihat informasi terkait prahara virus corona COVID-19. Bagaimana tidak, Update 30 Agustus: Tambah 2.858, kasus baru dalam 24 jam terakhir. Jadi, Kasus Covid-19 Indonesia Capai 172.053. Karuan saja, hal ini menjadi persoalan dan tanda tanya bagi siapa saja. Kapan mulai dapat diatasi? Kapan berakhir? Bagaimana dampaknya? Cara apa lagi yang harus ditempuh?
Dan pertanyaan-pertanyaan lain, yang semua belum ada yang
berani memberi jawaban pasti. Sementara itu di sisi ekonomi, wabah ini, seperti
badai yang sangat sempurna (perfect storm). Gejolak tersebut berdampak besar
dalam tatanan perekonomian nasional. Pandemi membuat konsumsi rumah tangga atau
daya beli yang merupakan penopang 60 persen ekonomi jatuh cukup dalam.
Pertumbuhan Ekonomi RI anjlok pada Quartal II 2020 Minus 5,32%, Terburuk Sejak
1999. Bahkan bila pandemi ini tidak segera diatasi, Ekonomi Kuartal III
Diprediksi Minus 2%. Maka, Resesi Kian Nyata?
Namun demikian, bagi Ulul Albab (Orang yang Beriman dan
Beraqal) kehadiran virus dari Cina ini, justru membawa hikmah yang luar bisa.
Pasalnya, mereka meyakini tentu ada pesan spiritual (Hikmah Ilahiyah) yang
diberikan Allah melalui wabah corona yang sudah menyebar ke seluruh dunia.
Perhatikan QS. Ali Imran ayat 190-191 berikut ini :
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian
malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam
keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata), “Ya Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia;
Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka."
Seiring dengan segala dampak negatif akibat keganasan wabah
ini, ternyata memberi kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk membingkai
ulang spiritualitasnya. Dibalik kecemasan dan kegelisahan masyarakat itu,
prahara ini, telah memicu spiritualitas
umat kembali bertunas. Imbauan pemerintah agar masyarakat menghindari
kerumunan (social distancing) — bekerja, belajar, dan beribadah di rumah (stay
at home) —menjadi kesempatan untuk orang-orang menarik diri dari
komunal kepada personal, dari keramaian kepada kesunyian, dari kebisingan ke
dalam keheningan.
Menepi sejenak dari berbagai kesibukan duniawi. Menutup
mulut dan hidung (cover your mouth and nose with mask) agar bisa mendengar suara
hati. Keheningan menjadi tempat sakral di mana seseorang secara personal menata
kembali spiritualitasnya. Di dalam keheningan, seseorang dapat fokus
mendengarkan Petunjuk Allah bagi dirinya dan mendengarkan realitas dunia yang
sedang kita hadapi.
Selama ini, Kita menjalani hidup ditengah-tengah kebisingan, dimana-mana, setiap sudut selalu bersuara. Bahkan bukan hanya kebisingan di luar, lebih stress lagi kini kebisingan berasal dari pikiran. Jadi kita butuh keheningan untuk mengatasi semua itu. Dalam diam, perspektif kita semakin meluas dan kita memahami apa yang benar-benar penting untuk membuat diri menjadi lebih baik.
Begitulah keheningan mengajarkan kita untuk lebih memahami. Sebab
keheningan memberi kita jarak untuk melihat dari sudut yang lebih luas. Dalam
keheningan, seseorang bisa melihat melihat segala sesuatu dalam dunia ciptaan
yang menjebak, membuat cemas, dan menindas dirinya. Keheningan menjadi tempat
di mana seseorang bertemu dengan dirinya sendiri.
Keheningan adalah ruang di mana seseorang menemukan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti: mengapa aku hidup; untuk
apa/siapa aku hidup; apa yang kutakutkan; apa/siapa yang menggerakkan hidupku;
apa yang kutakutkan dan mengapa aku menakutkannya; mengapa aku melakukan apa
yang sedang aku lakukan. Jawaban yang ditemukan dalam keheningan akan menuntun
kepada autentisitas diri yang teraktualisasi keluar. Autentisitas itulah
spiritualitas.
Sekarang-ketika pemerintah telah memberlakukan Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB)—adalah saat yang tepat bagi kita untuk menata
spiritualitas kita. Kita harus memanfaatkannya bukan sekadar sebagai
mekanisme sosial untuk menahan laju penyebaran Covid-19, melainkan juga
mekanisme menakar dan menata spiritualitas diri. Semoga Allah memberi petunjuk
dan solusi terbaik untuk kita semua. (az).