https://static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/hukum-dan-keadilan-ilustrasi-_130214144733-893.jpg |
Redaksional kata “keadilan” sudah paten dalam konstitusi. Dalam Pembukaan alinea I (1 kata) berkaitan dengan sisi humanisme bernegara, alinea IV (2 kata) berkaitan dengan tujuan negara dan bagian dari tujuan ideologi negara. Dalam BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman di Pasal 24 ayat (1). Ini berkaitan dengan tujuan utama penegakan hukum. Dicantumkan keadilan. Padahal masih ada 2 tujuan lainnya yaitu kepastian dan kemanfaatan. Keadilan ada di atas 2 tujuan hukum tersebut. Dalam Pasal 28H ayat (2) berkaitan dengan HAM dari warga negara. Norma dasar “Keadilan” telah menjadi landasan utama demi mencapai tujuan bernegara. Mutlak dijalankan tanpa prasyarat dan pengecualian apa pun.
Konstitualisme konsep negara hukum sudah paten. Pilihan yang terbaik mengiringi sistem demokrasi Indonesia. Jika bertolak dari Talcot Parson tentang Sibernetika tentang self referential dan self reproducing berkaitan dengan varian sistem dalam kehidupan menjadi satu kesatuan membentuk pola pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Siapa yang dominan dia yang memegang peranan sebagai holder of control?. Siapakah dia? “Hukum” adalah jawabnya. Kalau Charles Hermawan berkata “Hukum sebagai Panglima”. Dalam adagium disebutkan “das recht bildende wirkung des machts” bahwa “hukum pemberi wujud pada kehidupan”. Fakta ini tentunya tanpa menafikan akan adanya bidang lain di luar hukum. Semua bersinergiditas sebagai siklus bernegara. Saling ketergantungan dan bersimbiosis mutualisme.
Hukum harus sinergis dengan semangat integritas dan paling penting dengan moralitas. Seperti, kata Ronald Dworkin “moral principle is the foundation of law”. Semua pihak punya tanggung jawab besar. Kalau John Rawls mengatakan “justice as regularity”. Dalam praktek sangatlah sulit. Jangan sampai hukum dijadikan komoditas politik belaka seperti kata Hanant Arrent berupa “anibal laborans”. Inilah tanggung jawab kita semua untuk mengawal hukum di Indonesia. Paradigma keadilan dalam tahap prosedural maupun substansial sangat dilematik.
Berbicara tentang keadilan tentunya multidimensi dan banyak perspektif. Pun juga banyak anasir dan kasuistis yang terjadi. Keadilan sebenarnya mutlak. Dalam praktek terkadang hanya alternatif. Bukan komulatif. Banyak kasus yang terjadi. Pro kontra kebebasan akademik bersuara, penyedikan oleh Polisi sampai tuntutan rendah oleh Jaksa dalam kasus Novel Baswedan, Kejaksaan dalam kasus Jiwasraya, melemahnya KPK dalam pemberantasan korupsi (mengejar buronan N dan HM), putusan Hakim MA dari Perpres tentang BPJS, Advokat sebagai Officium Nobile, Putusan PTUN pada Presiden dan Kominfo, ujaran kebencian dalam UU ITE, kebijakan penanganan Virus Korona (Pandemi) dan lain-lain.
Dalam berbagai bidang kehidupan. Apa pun bisa tersentuh dengan ada dan tidaknya rasa keadilan dalam penerapan hukum. Berkaitan dengan ini, maka Penulis sedikit mengupas permasalahan yang sedang dan akan berjalan dengan adanya kebijakan Normal Baru. Ini penuh dilematik dan anomali dalam kehidupan.
Kebijakan Normal Baru adalah tarik ulur dari Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berkaitan dengan pekerjaan dan jaminan kehidupan yang layak. Hal ini berkaitan tentang ekonomi masyarakat dipaksa atau dinormalkan aktif kembali. Jika ditelaah lebih lanjut dalam praktek bisa saja anomali dan tidak sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang equality before the law. Hal ini berimplikasi terhadap ketimpangan pemberlakukan sektor-sektor ekonomi apa saja yang boleh dan tidak bisa dibuka. Pun dengan bidang-bidang lainnya.
Sedikit mengupas kebijakan yang telah berjalan, sedang dan akan berjalan dalam sebuah fase kebijakan Pandemi. Penuh tahapan dan pertimbangan banyak hal. Ada 3 fase kebijakan menurut Penulis yaitu sebagai berikut:
1. Pra Kondisi
Pada tahap ini masih awal sekedar antisipasi. Belum ada penerapan sanksi yang tegas. Regulasi awal yang digunakan adalah Inpres No. 4 Tahun 2009 tentang Pendeteksian Wabah dan Keppres No.7 Tahun 2020 tentang Satuan Gugus Tugas. Pemerintah bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membentuk relawan di semua daerah. Tiap hari kasus positif Pandemi makin meningkat. Korban makin berjatuhan. Dalam keadaan ini terdapat kegagalan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi tidak sejalan dengan korban yang makin bertambah. Bahkan pemerintah daerah tidak sejalan dan mengambil kebijakan sendiri. Redaksional yang digunakan pun berbeda dalam menentukan status darurat di daerah masing-masing. Ada Kejadilan Luar Biasa (Solo), Karantina Parsial (Jabar) dan Tanggap Daurat. Hal ini disebabkan pola koordinasi pemerintah pusat tidak efektif. Aturan sering berubah tiap waktu. Pemerintah daerah terpaksa mengambil inisiatif sendiri mengingat para kepala daerah juga sebagai Ketua Satuan Gugus Tugas (Berdasarkan point 3 Keppres No.12 Tahun 2020) di masing-masing daerahnya sendiri.
2. Koordinasi
Kegagalan pada fase 1 telah menjadikan warning berharga bagi pemerintah dengan menaikan status penanggulangan ke tingkat UU dan turunannya. Ada UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU KK) dan UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB) sebagai 2 induk regulasi. Seiring waktu turunan dari UU tersebut keluar Keppres No.11 Tahun 2020 tentang Status Darurat Kesehatan, PP No.21 Tahun 2020 tentang PSBB (turunan Pasal 60 UU KK), Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan (sudah resmi disahkan dan jadi UU Virus Korona) dan Keppres No.12 Tahun 2020 tentang Status Darurat Bencana Nasional (kebijakan terakhir dikeluarkan tanggal 13 April 2020). Kebijakan ini banyak menuai kritik. Uji materi ke MK pun sedang berjalan bahkan ketika masih dalam bentuk Perppu (sekarang jadi UU Virus Korona).
Pada tahap 2 ini pola koordinasi makin terjalin baik antara pemerintah pusat dan daerah. Tidak kacau lagi. Walaupun masih ada koordinasi yang berjalan kurang baik. Analisis lebih lanjut dari Penulis, dari berbagai turunan tersebut muncul turunan lagi berupa Peraturan dan Surat Edaran (SE) dari masing-masing instansi yaitu Kemenkes dan Kemenhub. Sebut saja sebagai tindak lanjut keberlangsungan PSBB adalah mekanisme dan tolak ukur PSBB bagi daerah, larangan mudik, pengendalian transportasi dan lain-lain.
Menyinggung soal PSBB ini dianggap jalan tengah bagi pemerintah ketika tidak mengambil kebijakan Karantina Wilayah (Pasal 55 UU KK) atau lockdown. Tidak mengambil Karantina Wilayah karena keuangan negara dianggap masih minus jika nantinya buat membiayai hidup warga negaranya. Pun persoalan lockdown tidak dikenal dalam norma hukum Indonesia. Hanya adopsi dari luar negeri. Bahkan PSBB ini adalah dianggap bentuk halus dari negara yang lepas bertanggung jawab secara keuangan terhadap warga negaranya.
3. Eksekusi
Pemerintah mengambil kebijakan akhir dari Perppu No. 23 Tahun 1953 tentang Darurat Sipil. Perdebatan pun muncul terkait penerapan kebijakan ini. Fase 3 ini jika dianggap tahap sebelumnya masih gagal. Jika hal ini diterapkan memang benar bahwa kebijakan ini menunjukan adanya kebingungan tersistematis dari pemerintah. Permainan istilah saja. Dalam pandangan Penulis, penggunaan redaksional dan implementasi dari Darurat Sipil ini adalah cacat sejarah dan tidak berdasarkan norma hukum. Jika ini diterapkan juga dapat berpotensi mengacaukan nalar logika hukum. Mengarah pada logical fallacy (sesat pikir) dalam membangun sistem hukum.
Pengumuman adanya Normal Baru resmi diumumkan Presiden tanggal 15 Mei 2020. Selang 5 hari tepatnya tanggal 20 Mei 2020 keluar kebijakan berupa Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.Hk.01.07/Menkes/328/2020 tentang Panduan Kesehatan dan Pengendalian Corona Virus Diseases Tahun 2019 (Covid 19). Ini masih bersifat umum. Sifatnya berupa keputusan dari kementerian. Jika merujuk dari Pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) sebuah aturan dari lembaga boleh dikeluarkan. Sifatnya atributifnya berbeda. Lalu bagaimana dengan adanya Kepmenkes tersebut?. Ini tentunya masih bersifat umum.
Semua instansi dan lembaga akan menyesuaikan dengan arahan protokol kesehatan tersebut?. Apakah dan seperti apakah bentuk “Keputusan” atau “Peraturan” yang akan dikeluarkan oleh masing-masing instansi?. Jika tidak sesuai dengan norma hukum dari Kemenkes apakah lembaga atau unstansi dapat dikatakan melanggar?.Ini akan menjadi salah satu tolak ukur bagi efektivitas penerapan Normal Baru.
Berbicara tentang Normal Baru tentunya dapat dijadikan rujukan batasan waktu yang linear dengan Darurat Kesehatan?. Kapan akan dicabut?. Siapakah yang berhak?. Jika merujuk status tersebut resmi dikeluarkan dari Keppres, maka Presiden berhak untuk mencabut status tersebut. Kapan?. Ini adalah banyak tolak ukurnya. Apakah dari ukuran kurva Pendemi turun?. Tidak ada lagi kasus positif atau sampai adanya vaksin?. Ini bertolak dari teori Sibernetika, maka fondasi apa yang menjadi pertimbangan utama?. Kesehatan?Ekonomi?Hukum?ataukah Politik?. Semua elemen tersebut adalah irisan yang saling mempengaruhi dan menjadi tolak ukur baik dan tidaknya penerapan Normal Baru. Proses ini adalah tugas bersama. Tidak hanya pemerintah dan DPR saja. Semua elemen bangsa memiliki peran penting agar semua berjalan baik dan terdapat rasa keadilan yang meliputi semua sendi-sendi kehidupan berbangsan dan bernegara. Jika kita memiliki sense of belonging terhadap negara ini, maka sudah menjadi keniscayaan untuk ikut mengawal bersama.
Sebagai penutup akhir, Penulis hadirkan dogma tujuan hukum dari keadilan yaitu “Fiat justicia ruat coelum” (Keadilan Harus tetap Ditegakan Walau Langit Akan Runtuh). “Fiat justicia et pereat mundus” (Keadilan Harus Tetap Ditegakan Walau Bumi Akan Hancur). Keadilan adalah jantung dan roh dari hukum itu sendiri selain kepastian dan kemanfaatan. Keadilan adalah ibarat dua sisi pedang. Apakah tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Apakah juga sisi tajamnya hanya bisa dipegang dan dikendalikan alat-alat negara tanpa melihat sisi lainnya ?. Jika pedang dipegang dan tidak dikendalikan dengan baik, maka ibarat orang buta yang memegang pedang di jalan kegelapan. Semua yang ada di sekitarnya akan terlibas dengan kejam. Semua elemen bangsa dapat terkena imbas dan kerugian akibat pedang tidak dipegang dengan baik. Tidak dihunuskan dengan bijak.
Penulis:
Z.Saifudin, S.H.,M.H
(Mas Say)
Akademisi/Pakar Muda Hukum Tata Negara dan Praktisi/Constitutional Lawyer/Direktur Law Firm Pedang Keadilan