Pancasila adalah staatsfundamentalnorm bernegara. Kunci dasar hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila sudah dibingkai dalam konstitusi. Pancasila sudah dikunci rapat dalam alinea IV konstitusi. Tidak boleh dirubah. Niat pun tidak boleh, apalagi melakukan perubahan. Berlaku sepanjang masa. Tidak ada masa berakhir. Konstitusi adalah hukum tertinggi negara ini. Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) No.100/PUU-XI/2013 juga ikut menjadi benteng bahwa Pancasila adalah ideologi negara.
Pancasila adalah ideologi negara. Sudah paten. Itu adalah mutlak. Tanpa harus ditafsir lain. Pancasila juga dasar dan pandangan hidup bangsa. Pancasila adalah fondasi dari tujuan bernegara. Tanpa adanya landasan dan berdasarkan Pancasila, maka tujuan bernegara akan goyah tanpa arah. Tanpa Pancasila bangsa dan negara kita akan berjalan dalam kegelapan. Tanpa adanya Pancasila, Indonesia tidak akan pernah sampai pada tujuan ke-Indonesiaan.
Pancasila merupakan philosophische grondslaag bernegara. Adanya wajib terintegralistik dengan norma kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak boleh ada diskursus dalam bentuk dikotomi dan polarisasi apa pun. Jangan ada sekat dalam pluralisme dan primordial bangsa.
Unity in diversity adalah estafet persatuan dan kesatuan bangsa tanpa memandang aspek komunal dan marginal. Mind site dan in action wajib holistik tidak boleh parsial. Apalagi jangan sampai justru menjadi pemicu konflik horizontal. Bhinneka Tunggal Ika adalah perekat unity in diversity karena sejalan dengan Pancasila.
Pancasila bukan hanya sebuah ideologi negara. Akan tetapi merupakan potret dan refleksi diri dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara melalui aparaturnya, idealnya hadir menjadi obat bagi kompleksitasnya permasalahan bangsa ini. Jangan sampai justru menjadi bagian dari masalah bangsa. Negara wajib menjalankan peran dan fungsinya guna meletakan posisi Pancasila terhadap warga negaranya.
Flash Back Historis
Pancasila sudah selesai. Perdebatan dan dialektika Pancasila telah menutup sejarah tentang pemberlakuan ideologi negara saat sidang BPUPKI. Sidang BPUPKI terjadi dua kali, saat sidang pertama (29 Mei – 1 Juni 1945) dan sidang kedua (10-17 Juli 1945). Khususnya saat sidang pertama, tepatnya tanggal 1 Juni 1945 lahirlah kata dan redaksional “Pancasila” dengan sejumlah pandangan umum dan alasannya dari pungusulnya yaitu Presiden Soekarno. Disisi lain saat sidang pertama juga muncul perdebatan dari M.Yamin dan Seopomo.
Dalam proses selanjutnya, terbentuk “Piagam Jakarta” tangga 22 Juni 1945. Dibentuk dan dilantik PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 9 Agustus 1945. Setelah ada perdebatan sila ke-1 (M.Hatta menyampaikan kritikan pada Soekarno dalam sidang pleno PPKI, khususnya dihadapan Ki Bagus Hadikusumo, Wakhid Hasyim, Teuku M.Hasan dkk).
Setelah melalui proses panjang, mengantarkan pada “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia”. Tanggal 18 Agustus 1945 baru terbentuk konstitusi, maka dalam alinea IV pembukaan konstitusi “Pancasila” rumusan secara utuh termuat untuk pertama kalinya di dokumen negara yaitu “UUD 1945”. Bukan berarti tanggal 18 Agustus adalah hari lahirnya Pancasila, karena dianggap memuat pertama kalinya dan diakui sebagai dasar hukum tertinggi yaitu konstitusi. Embrio awalnya adalah 1 Juni 1945 ketika istilah “Pancasila” muncul waktu pidato Presiden Soekarno tanggal 1 Juni 1945, maka tanggal 1 Juni adalah “Hari Lahir Pancasila”.
Pergolakan Norma Hukum RUU HIP
Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara terus berevolusi. Banyak problematik mengiringi pertanyaan tentang ideologi negara. Tepatnya tanggal 17 Desember 2019 bergulir Rancangan Undang-Undang tentang Halauan Ideologi Pancasila (RUU HIP) oleh DPR dan masuk Prolegnas. Berbicara teknis birokrasi di DPR berkaitan dengan RUU HIP berpedoman dari UU MD3 dan aturan teknis pada Peraturan DPR. RUU HIP telah melewati 2 fase. Penyusunan (Komisi, Harmonisasi, dan penetapan usulan RUU HIP) dan Perumusan (tingkat 1 dan 2). Pasca teknis ketatanegaraan tersebut, barulah diserahkan kepada pemerintah untuk mendapatkan persetujuan dari Presiden berupa legalitas awal berupa Surpres (Surat Presiden) agar dapat dianjutkan dalam pembahasan selanjutnya.
Bersamaan dengan itu berlaku public hearing. Tiap warga negara berhak untuk memberikan masukan dan kritikan. Inilah pendewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada 60 Pasal dalam RUU HIP. Ada kelebihan dan kelemahan tentunya sebagai basis argumentasi bagi yang pro dan kontra. Berkaitan dengan ini Penulis mencoba mengkritisi dalam beberapa hal.
Pertama, Pada konsideran “menimbang” point c tentang perlunya Pancasila diberikan cantolan hukum pada UU. Konsekuensi logisnya seperti apa?. Hal ini telah mendegradasikan turun derajat nilai Pancasila. Ideologi adalah grund norm dasar dari setiap aturan. Bahkan telah menjiwai dan dijiwai Konstitusi. Disejajarkan dengan pilar berbangsa saja tidak bisa. Alasan penempatan dalam UU justru mengacaukan tatanan sistem hukum.
Kedua, Pada konsideran “mengingat” point 2 sampai 8 tidak ada Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966. Sedangkan pada point 1 hanya berkaitan dengan kewenangan DPR. Konsekuensi logisnya seperti apa?. Khusus pada Tap MPRS tersebut sangat krusial dan menyangkut potensi terjadinya pergolakan ideologi baru. Masih sangat logis, misalkan dicantumkan Tap MPR No.1/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Tap MPRS dan Tap MPR Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan 2002. Ini sudah dapat merangkum Tap MPRS sebelumnya. Ini memiliki legalitas. Tanpa adanya Tap MPRS tersebut justru membuka ruang perdebatan terhadap ideologi lain selain Pancasila. Bisa ditafsirkan secara liar oleh publik. Termasuk mengacaukan jenjang hierarki aturan hukum (Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).
Ketiga, pada Pasal 3 berkaitan dengan usulan perumusan Pancasila saat sidang BPUPKI. Konsekuensi logisnya seperti apa?. Dalam ayat (1) merupakan rangkuman dari 3 tokoh pada sidang pertama BPUPKI. Hal ini hanya mendaur ulang sejarah saja. Semua sudah didebatkan. Tidak perlu diuang lagi. Apalagi dalam ayat (2) sangat tendensius dengan mengutip dari Presiden Soekarno saja. Bukan yang lain juga ikut dicantumkan. Ini bisa disalah artikan lain.
Keempat, pada Pasal 7 tentang perdebatan Presiden Soekarno saat sidang BPUPKI. Konsekuensi logisnya seperti apa?. Dalam ketiga ayat tersebut merupakan isi dari Pidato Presiden Soekarno saat sidang pertama BPUPKI. Hal ini lagi-lagi hanya mendaur ulang sejarah saja. Bahkan secara gamblang penyebutan redaksional Tri Sila dan Eka Sila dapat menimbulkan kegoncangan tafsir publik. Walau maksudnya bukan pada Gotong Royong, tapi dengan mendaur ulang sejarah berpotensi membuka perdebatan publik lagi.
Kelima, pada Pasal 44 Presiden tentang pemegang pengendali ideologi negara adalah Presiden. Konsekuensi logisnya seperti apa?. Presiden adalah jabatan publik. Pun secara tidak tidak langsung melekat jabatan politis. Hal ini sangat rawan terjadi pergeseran dari jabatan publik ke sifat politis. Apalagi Presiden secara persona diberikan mandat dalam mengendalikan ideologi negara. Walaupun tidak ada jaminan, tapi bisa saja terindikasi dapat digunakan guna mendeskriditkan para pihak yang berada di luar pemerintahan.
Dampak RUU HIP Terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Pemurnian ideologi negara dalam sejarah telah terbentuk dalam kelembagaan guna menjaga nilai Pancasila tetap dikenal masyarakat. Zaman Presiden Soekarno ada Tubapi, Presiden Soeharto ada BP7 dan Presiden Jokowi ada BPIP. Implikasi positifnya adalah guna menjaga Pancasila agar tetap hidup di masyarakat di tengah carut marutnya degradasi moral. Implikasi negatifnya adalah bisa perpotensi penyalahgunaan wewenang dan terjadi pergeseran kekuasaan ke ranah pribadi Presiden.
Celah ini dapat berdampak terhadap pemanfaatan Pancasila. Mengingat Presiden adalah jabatan politik. Dampak tersebut pasti ada. Jika dalam konteks yuridis tentunya tiap orang memiliki basis argumentasi berbeda. Ini hal wajar dalam membangun sistem hukum. Akan tetapi, menurut pandangan Penulis dampak di luar yuridis ini sangat berbahaya.
Dampak secara politis, dapat kita lihat saling curiga dan tidak percaya antar Parpol terlihat. Perdebatan siapa pengusul utamanya?. Siapa yang setuju dan tidak setuju?. Tolak ukurnya sebenarnya ada 2 yaitu Pertama, Parpol saat di tahap penyusunan (rapat fraksi dan komisi). Kedua, Parpol penanda tangan saat penetapan usulan RUU HIP masuk Prolegnas. Keadaan dapat menganggu sistem Presidential. Koalisi bisa terbelah. Pun yang oposisi juga bisa goyah. Ini merupakan pendidikan politik yang tidak baik bagi masyarakat.
Dampak secara sosial, dapat berpotensi menggiring opini pubik secara liar. Dalam pandangan Penulis keadaan ini sama dengan saat ada pro dan kontra Perppu Ormas. Bagi yang kontra Perppu Ormas linear dengan sikap kontra terhadap RUU HIP. Hal ini berdampak terhadap pengkotak-kotakan dan dekat serta tendensius terhadap kelompok tertentu. Ini adalah cara berpikir tidak tepat dan sesat (logical fallacy). Padahal bukan itu persoalannya. Titik point utama adalah agar terjalin sistem hukum yang baik saja. Apalagi dalam RUU HIP ini menyangkut ideologi negara. Jauh lebih tinggi derajatnya dari sekedar membangun sistem hukum dan bernegara.
Paham-paham baru yang bertentangan dengan Pancasila bisa masuk lagi. Konflik horizontal berpotensi bisa meluas. Mengingat masyarakat Indonesia sangat heterogen. Perbedaan basis argumentasinya pun sangat tajam. Dinamika sosial pun telah terjadi. Demo besar-besaran sampai ada insiden pembakaran bendera Parpol. Saling lapor dan kalim paling pun terjadi. Ini akan membuat PR bagi aparat penegak hukum dalam menafsikan konteks pembakaran bendera Parpol.
Solusi dan kunci Alinea IV Konstitusi
Ada 3 sebab potensi robohnya Indonesia. Pertama, Warga negara lupa Pancasila. Kedua, Warga Negara lupa sejarah bangsa dan Ketiga, Para pemuda apatis terhadap negara. Jika maksudnya adalah guna menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila di dalam masyarakat, maka dapat tetap digunakan program MPR dalam sosialisasi pilar-pilar berbangsa dan bernegara.
Dengan catatan Pancasila sebagai ideologi negara tetap ditempatkan pada posisi tertinggi. Tidak sejajar dengan pilar-pilar lainnya (UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika). Komunis dan Khilafah adalah paham yang sudah tidak terbantahkan telah menjadi ancaman bersama bangsa ini. Dalam historis kebangsaan telah nyata mereka yang bertentangan dan ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain.
Lalu jika agar RUU HIP dapat berhenti seperti apa?. Dari perspektif DPR?memang sudah masuk Prolegnas dan resmi disahkan sebagai RUU usulan DPR. Dapatkan dicabut?. Bisa saja, itu kehendak bersama jika mayoritas dalam sidang saat pengesahan usulan komitmen buat mencabut usulan tersebut. Dapat digelar rapat bersama lagi. Dari perspektif Pemerintah?. Sampai saat ini, kebijakan yang diambil dari Presiden selaku simbol pemerintah adalah dengan menunda mengeluarkan Surpres (Surat Presiden). Pemerintah masih mempertimbangkan hal lain dan memberikan masukan yang konstruktif.
Jika political will dari pemerintah tidak ingin menyetujui RUU HIP, maka dengan tidak mengeluarkan sama sekali Surpres. Dalam perspektif Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan?. Presiden adalah pimpinan Parpol koalisi. Bisa saja Presiden memberikan arahan agar dapat menghentikan dan mencabut RUU HIP.
Sebagai penutup, Penulis menganalogikan dinamika pro dan kontra RUU HIP ini dengan bangunan rumah. Ibarat membangun Indonesia seperti membangun rumah di tengah hutan. Penuh tantangan dan ancaman. Di kanan dan kiri penuh tebing dan jurang terjal. Rumah telah dibangun oleh para the fonding father dengan tetesan darah dan kucuran keringat. Mulai dari membangun fondasi, tiang, atap, pintu dan sampai kunci rumah serta ornamen lain di dalam rumah tersebut. Rumah telah resmi dibangun dengan baik. Kunci juga sudah didapatkan tanpa bisa dibuka lagi. Jika dibuka bisa saja semua yang ada di sekitar rumah tersebut masuk. Bisa mengancam keutuhan dan keamanan seisi rumah. Kunci?. Itulah Pancasila seperti kunci dalam rumah besar Indonesia. Kunci Alinea IV Konstitusi dan Putusan MK telah mengunci rapat. Tidak bisa dibuka lagi.
Penulis:
Z.Saifudin, S.H.,M.H
(Mas Say)
Akademisi/Pakar Muda Hukum Tata Negara,Praktisi/Constitutional Lawyer/Direktur Law Firm Pedang Keadilan, dan Penulis Buku “Dialektika Konstitusi, Pancasila: Quo Vadis Konsep Bernegara”